Surabaya (Antara Bali) - Pengamat terorisme dari Institute For Security
and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan teror yang
terjadi di Indonesia akhir-akhir ini lebih condong ke arah ekstremisme,
bukan radikalisme.
Ditemui usai sidang doktoral Menpan RB Asman Abnur di Unair,
Surabaya, Senin, Fahmi menjelaskan, radikalisme lebih menjurus pada
anarkisme, vandalisme, maupun kerusuhan. Sedangkan ekstremisme merupakan
bentuk teror yang dinilai dapat memberikan pesan efektif.
"Nah, berkaca dari bom panci di Bandung itu sebenarnya bentuk
ekstremisme. Mereka menyampaikan pesan supaya aparat membebaskan
teman-temannya," kata dia.
Fahmi melihat deradikalisasi yang diprogramkan pemerintah belum
berjalan maksimal. Ia menambahkan, aksi teror terjadi bisa saja akibat
rasa ketidakpuasan, kekecewaan, serta keputusasaan kelompok tertentu
atas berbagai persoalan.
"Pemerintah mungkin perlu memikirkan cara yang efektif untuk
menggunakan kanal-kanal, misalkan melibatkan ormas. Tidak harus melalui
agama, bisa menggunakan saluran komunikasi sehingga harapan mereka bisa
terkelola dengan baik," ujarnya.
Menurut Fahmi, sekeras apa pun ormas, selama masih dalam koridor sistem kebangsaan perlu sekiranya dilibatkan.
"Selama ini memang langkah pemerintah melibatkan ormas belum
terlihat nyata, padahal itu perlu untuk kontrol sehingga mengelolanya
lebih mudah, apa yang mereka inginkan akan dapat diketahui," ucapnya.
Sementara itu Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menyebut pelaku
aksi bom panci di Bandung merupakan pemain lama yang pernah ditangkap
saat latihan teroris di Kota Jantho, Aceh Besar pada tahun 2011. (WDY)
Pengamat: Teror di Indonesia Masuk Kategori Ekstremisme
Selasa, 28 Februari 2017 8:12 WIB