Denpasar (Antara Bali) - Pengamat politik luar negeri Dr Ni Wayan Widhiastini menilai selama berlangsungnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, sektor perdagangan jasa seolah menjadi bagian yang terabaikan dibandingkan perdagangan barang.
"Padahal, sesungguhnya perdagangan jasa telah menjadi satu butir penting dari MEA yang menyepakati lima sektor jasa sebagai target awal yang diwadahi sebagai liberalisasi tenaga kerja yakni kesehatan, pariwisata, `e-commerce, transportasi udara, dan logistik," kata Widhiastini saat menjadi pembicara, dalam seminar nasional bertajuk Dinamika Ekonomi-Politik Global dan Politik Luar Negeri Indonesia 2017, di Denpasar, Sabtu.
Menurut dia, kesepakatan tersebut juga mengatur lalu lintas tenaga kerja profesional dan buruh manufaktur serta tenaga profesional seperti perawat, dokter, dokter gigi, akuntan dan insinyur. Setelah bersertifikat ASEAN, tenaga kerja tersebut di atas bebas bekerja di wilayah ASEAN.
"Namun, selama berlangsungnya MEA, negara-negara ASEAN termasuk Pemerintah Indonesia lebih fokus memberikan perhatian terhadap pengaturan perdagangan barang," ujarnya pada seminar yang dilaksanakan oleh FISIP Universitas Pendidikan Nasional, Denpasar, itu.
Upaya mewujudkan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, lanjut dia, juga telah menjadi praktik dari para pelaku ekonomi di bidang otomotif.
"Lalu lintas perdagangan yang bebas bea masuk juga telah diterapkan, sehingga pemerintah gencar menanamkan rasa cinta terhadap produk dalam negeri," ucap Widhiastini yang juga akademisi Undiknas tersebut.
Dia menambahkan, sebagai pencetus komunitas ASEAN 2015 yang kemudian realitasnya melahirkan MEA, Indonesia idealnya dapat mencuri "start" dengan membenahi sistem pendidikan, merancang standardisasi sertifikat tenaga kerja, membangun kesadaran masyarakat sejak dini bahwa mereka adalah bagian dari pergaulan masyarakat regional dan internasional.
"Tetapi harus diakui, bahwa euforia sebagai MEA hanya berlangsung sesaat, setelah itu masing-masing negara anggota seolah menganggap MEA adalah `business as usually` (bisnis seperti biasanya), dan seolah hanya menjadi slogan bersama dengan sedikit upaya untuk mewujudkannya," kata Widhiastini.
Sementara itu, pembicara lainnya Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Dr Siswo Pramono mengatakan Indonesia dalam konteks perdagangan internasional sesungguhnya sudah banyak berkiprah, bahkan sejak zaman kejayaaan sejumlah kerajaan di Tanah Air.
Indonesia, tambah dia, dapat melirik pangsa pasar di Samudera Hindia yang menyimpan potensi sangat besar. Namun, harus didukung dengan sejumlah teknologi dan inovasi agar dapat memenangkan persaingan.
Oleh karena itu, ujar Siswo, menjadi tugas perguruan tinggi, kalangan industri, dan pemerintah untuk bersinergi membangun inovasi tersebut. (WDY)