Tabanan (Antara Bali) - Menteri Kesehatan Endang R Sedyaningsih mengatakan pihaknya akan memeriksa warga negara Indonesia yang selamat dan kembali ke Tanah Air dari kemungkinan terpapar sinar radiasi nuklir, menyusul kerusakan reaktor nuklir di Jepang.
"Saya kira pemeriksaan itu penting. Untuk petugas-petugas atau WNI lain, sebelum berangkat ke sana mereka diukur dulu kondisinya melalui alat khusus. Nanti setelah pulang juga akan diukur lagi," katanya kepada wartawan di Tabanan, Bali, Sabtu.
Sedyaningsih berada di Bali untuk meninjau langsung pelaksanaan deteksi dini kanker leher rahim alias kanker serviks melalui metode Inspeksi Visual dengan Asam asetat di Puskesmas III Tabanan.
Puskesmas tersebut mencatat prestasi dalam diseminasi kesadaran perempuan setempat mendeteksi kemungkinan mengidap kanker pembunuh nomor dua perempuan itu.
Terkait bencana katastropik gempa berkekuatan 8,9 skala Richter disusul gelombang tsunami di Jepang pada 11 Maret 2011, terjadi kerusakan parah di sejumlah instalasi strategis negara itu. Salah satunya reaktor nomor empat pembangkit tenaga listrik nuklir di Fukushima, sekitar 250 kilometer arah barat laut Tokyo yang terbakar.
Ancaman radiasi menyeruak di antara masyarakat Jepang dan negara-negara sekitar, semisal Korea Selatan dan Korea Utara yang berada dalam radius kurang dari 500 kilometer dari Jepang. Kekhawatiran paparan radiasi terkait perubahan pola cuaca dunia belakangan ini mengingatkan kembali pada "Hujan Hitam" atau "Black Rain" menyusul Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom pada akhir Perang Dunia Kedua.
Untuk menyelamatkan seluruh WNI yang ada di Jepang, Kementerian Luar Negeri Indonesia bersama koleganya dari berbagai pihak mengirim sejumlah tim dalam misi penyelamatan yang dikoordinasikan KBRI di Tokyo. Kebanyakan dari sekitar 25.000 WNI yang bermukim di negara itu merupakan pelajar dan mahasiswa serta pekerja tetap selain karena ikatan perkawinan.
Menanggapi itu, anggota Dewan Energi Nasional, Prof Dr Tumiran, mengatakan panas tinggi mengakibatkan ledakan hidrogen sehingga terjadi bocoran radiasi partikel mencapai 400 milli sieverts per jam. Dalam kondisi normal seharusnya angka radiasi yang muncul adalah 3,6 milli sieverts per tahun.
"Angka itu jumlah sangat besar dan langka terjadi. Dalam angka 100 milli sieverts saja itu sudah sangat mengganggu kesehatan. Apalagi jika sampai 400 per jam. Bisa dibayangkan jumlahnya dalam satu tahun," kata Tumiran dari Yogyakarta sebagaimana dikutip "detikcom" beberapa hari lalu.
Menurut dia, efek radiasi yang ditimbulkan bisa berdampak cukup serius bagi kesehatan manusia ketika paparannya cukup lama. Saat menembus tubuh maka radiasi akan mengionisasi sel tubuh yang paling lemah seperti organ reproduksi, otak dan sel darah.
"Ionisasi atau pembelahan liar sel tubuh bisa mengakibatkan kerusakan jaringan sel. Pembelahan liar juga menyebabkan penyakit kanker maupun gangguan keturunan akibat rusaknya DNA," kata Dekan Fakultas Teknik UGM itu.
Ia mengatakan equivalen panas yang dihasilkan sangat tergantung dengan sisa bahan bakar yang masih ada di reaktor. Kondisi paparan radiasi di Tokyo telah mencapai 0,46 mili sieverts pada saat itu. Sementara dalam keadaan normal hanya sekitar 0,16 mili sieverts.
"Jepang saat ini berusaha jangan sampai reaktor meledak. Jika meledak, berarti bencana bagi Jepang dan negara sekitar. Kandungan uranium yang besar dari hasil ledakan bisa menguap kemana-mana melalui udara dalam bentuk gelombang," katanya.
Kondisi yang harus dihindari adalah kemungkinan ledakan akibat panas tinggi. Gempa dan tsunami telah menjadikan fasilitas listrik dan pompa pendingin tidak berfungsi, bahkan penyimpan bahan bakar diesel juga tersapu tsunami.
"Meski enam unit reaktor di Fukushima dalam kondisi dimatikan dan tidak beroperasi, tapi di dalam reaktor masih ada sisa energi sekitar tujuh persen sehingga masih ada panas. Ini harus diwaspadai dan pemerintah Jepang saat ini tengah berusaha keras untuk melakukan pendinginan," katanya.(*)