Oleh I Komang Suparta
Denpasar (Antara Bali) - Sistem kerja "outsourcing" atau perjanjian kerja waktu tertentu, yang selama ini diterapkan di Indonesia sangat merugikan, karena bekerja dengan sistem ini tidak menjamin kelangsungan masa depan pekerja.
Bekerja dengan sistem "outsourcing" di Indonesia, kalau dilihat dari upah atau gaji yang didapat para buruh dan pekerja pun tidak lebih dari acuan upah minimun regional atau upah minimun provinsi (UMR/UMP), bahkan ironisnya ada juga pekerja mendapat upah dibawah UMR.
Maka dari itu, tidak salah para buruh dan pekerja mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) melakukan revisi dan menerbitkan Keputusan Menteri yang menghapus sistem kerja "outsourcing" untuk jenis pekerjaan pokok dan produksi.
Ketua Serikat Pekerja Indonesia (SPSI) Kota Denpasar Wayan Puspa mengatakan, sistem kerja "outsourcing" telah menjadi persoalan sangat serius bagi pekerja karena merupakan perbudakan di zaman modern.
"Kami berharap regulasi harus ditata ulang karena masalah sistem kerja 'outsourcing' tersebut sangat merugikan nasib dan masa depan pekerja," katanya.
Dia mengatakan, dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa telah mengamanatkan pemerintah untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk di antaranya buruh dan pekerja.
"Jadi, dengan demikian sistem kerja 'outsoursing' merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan dampaknya akan menyengsarakan pekerja atau buruh.
Puspa mendesak pemerintah dalam hal ini Menakertrans menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) yang menghapus sistem "outsourcing" untuk jenis pekerjaan pokok dan produksi, Kepmen ini berfungsi untuk mengimplementasikan amar putusan Mahkamamah Konstitusi (MK) Nomor: 27/PUU-IX/2011.
Dalam amar putusan tersebut, MK menyatakan bahwa frasa "perjanjian kerja waktu tertentu" dalam Pasal 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945.
Pertentangan tersebut terjadi, menurut MK sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada, walau pun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau penyedia jasa pekerja.
Selain itu, kata Puspa, sistem kerja "outsourcing" penerapannya lebih cocok kepada pekerja ekspatriat atau tenaga asing yang bekerja di Indonesia. Alasannya, selesai kontrak atau memberi pelatihan pada perusahaan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, semisal enam bulan hingga setahun, maka mereka akan kembali ke negaranya.
"Namun justru penerapan sistem kerja perjanjian waktu tertentu di Indonesia sangat merugikan dan memiskinkan bangsa sendiri. Disamping itu perusahaan-perusahaan yang menggunakan tenaga kerja seperti ini ke depannya tidak akan mempunyai produksi berkualitas," ujar mantan pekerja di salah satu hotel di Sanur, Bali.
Karena para pekerja dengan sistem perjanjian tertentu, bekerjanya tidak akan fokus memikirkan kelangsungan perusahaan. Sebab, mereka dibayang-bayangi rasa kecewa dan pengabdian selama diperusahaan pun tak merasa dihargai.
"Bagaimana para karyawan atau buruh itu merasa memiliki perusahaan tersebut, karena mereka berdasarkan perjanjian. Dan bekerjanya pun mereka sesuai dengan perjanjian tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, Koordinator Persatuan Rakyat untuk Kemandirian Bangsa (PRKB) Tantowi, saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Bali pada Selasa (1/5) serangkaian Peringatan Hari Buruh Sedunia mengatakan, sudah saatnya pemerintah menghapus sistem "outsourcing" karena merugikan para buruh.
Menurut dia, sistem tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, sebab penghasilan dari sistem "outsourcing" tidak lagi para buruh mendapatkan hak-hak lain, seperti tunjangan hari raya dan tunjangan kesehatan.
"Sebenarnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak asasi manusia. Ini merupakan amanat UUD 1945. Artinya penyataan ini mewajibkan negara memenuhi dan memastikan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi seluruh warga negara," ujarnya.
Ia mengatakan, hal ini tidak sekadar dimaknai sebagai pemberian ruang yang luas bagi rakyat untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan, namun juga harus berdasarkan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia (HAM) yang terkandung dalam UUD 1945.
"Kalau ingin menerapkan sistem 'outsourcing' di Indonesia, maka gajinya harus lebih besar. Seperti di negara-negara maju yang saat ini menerapkan sistem tersebut," kata Tantowi menegaskan.
Revisi sistem 'outsourcing"
Sementara itu, kalangan DPRD Provinsi Bali mendesak pemerintah melakukan revisi terhadap perekrutan tenaga kerja dengan sistem kerja "outsourcing", karena sistem tersebut dianggap merugikan pekerja.
"Kami meminta pemerintah dan Dewan di pusat untuk melakukan revisi terhadap Undang Undang Ketenagakerjaan tersebut, sehingga pemberlakuan sistem 'outsourcing' bisa dihapus atau direvisi," kata Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Ketut Kariyasa Adnyana, baru-baru ini.
Ia mengatakan, pihaknya sudah pernah bersurat ke pemerintah pusat dan ke DPR RI untuk menindaklanjuti tuntutan para buruh atau pekerja beberapa pekan lalu saat melakukan aksi unjuk rasa serangkaian Hari Buruh Internasional pada 1 Mei.
"Kami sudah pernah bersurat terkait tuntutan dari para buruh agar sistem 'outsourching' dihapus saja, karena sistem ini dinilai merugikan para pekerja. Alasannya, mereka tidak mendapat tunjangan hari raya, dan jika kontrak berakhir maka karyawan itu pun tak mendapat pesangon," kata politikus PDIP.
Bahkan, kata dia, sistem "outsourcing" yang berlaku saat ini di Indonesia disalahgunakan karena jauh dari landasan dasar "outsourcing" yang berlaku di negara-negara Asia, Eropa, bahkan di Amerika Serikat.
Mengacu UU Ketenagakerjaan
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kota Denpasar Made Erwin Suryadarma Sena mengatakan, perusahaan merekrutmen tenaga kerja dengan sistem "outsourcing" tersebut dibenarkan, karena diatur dalam Undang Undang Ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, kata Erwin Suryadarma berharap kepada perusahaan yang menerapkan sistem tersebut agar memperlakukan karyawan atau buruh sesuai dengan perjanjian dimaksud.
"Kami tak pungkiri, memang ada perusahaan merekrutmen tenaga kerja dengan sistem 'outsourcing' tapi dalam implementasi kerjanya seperti karyawan tetap. Nah, ini yang tak dibenarkan," ujarnya.
Ia mengatakan, perusahaan yang menerapkan sistem "outsourcing" sebaiknya sebelum merekrut tenaga kerja harus pengumumannya dilakukan secara transparan, artinya dalam perusahaan itu karyawan yang ditugaskan sesuai dengan aturan.
"Pihak perusahaan harus memahami aturan-aturan tersebut. Begitu juga karyawan atau buruh bersangkutan harus menyadari tugas-tugas yang akan dikerjakan, sehingga tidak dirugikan," katanya (I020/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
Denpasar (Antara Bali) - Sistem kerja "outsourcing" atau perjanjian kerja waktu tertentu, yang selama ini diterapkan di Indonesia sangat merugikan, karena bekerja dengan sistem ini tidak menjamin kelangsungan masa depan pekerja.
Bekerja dengan sistem "outsourcing" di Indonesia, kalau dilihat dari upah atau gaji yang didapat para buruh dan pekerja pun tidak lebih dari acuan upah minimun regional atau upah minimun provinsi (UMR/UMP), bahkan ironisnya ada juga pekerja mendapat upah dibawah UMR.
Maka dari itu, tidak salah para buruh dan pekerja mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) melakukan revisi dan menerbitkan Keputusan Menteri yang menghapus sistem kerja "outsourcing" untuk jenis pekerjaan pokok dan produksi.
Ketua Serikat Pekerja Indonesia (SPSI) Kota Denpasar Wayan Puspa mengatakan, sistem kerja "outsourcing" telah menjadi persoalan sangat serius bagi pekerja karena merupakan perbudakan di zaman modern.
"Kami berharap regulasi harus ditata ulang karena masalah sistem kerja 'outsourcing' tersebut sangat merugikan nasib dan masa depan pekerja," katanya.
Dia mengatakan, dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa telah mengamanatkan pemerintah untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk di antaranya buruh dan pekerja.
"Jadi, dengan demikian sistem kerja 'outsoursing' merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan dampaknya akan menyengsarakan pekerja atau buruh.
Puspa mendesak pemerintah dalam hal ini Menakertrans menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) yang menghapus sistem "outsourcing" untuk jenis pekerjaan pokok dan produksi, Kepmen ini berfungsi untuk mengimplementasikan amar putusan Mahkamamah Konstitusi (MK) Nomor: 27/PUU-IX/2011.
Dalam amar putusan tersebut, MK menyatakan bahwa frasa "perjanjian kerja waktu tertentu" dalam Pasal 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945.
Pertentangan tersebut terjadi, menurut MK sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada, walau pun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau penyedia jasa pekerja.
Selain itu, kata Puspa, sistem kerja "outsourcing" penerapannya lebih cocok kepada pekerja ekspatriat atau tenaga asing yang bekerja di Indonesia. Alasannya, selesai kontrak atau memberi pelatihan pada perusahaan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, semisal enam bulan hingga setahun, maka mereka akan kembali ke negaranya.
"Namun justru penerapan sistem kerja perjanjian waktu tertentu di Indonesia sangat merugikan dan memiskinkan bangsa sendiri. Disamping itu perusahaan-perusahaan yang menggunakan tenaga kerja seperti ini ke depannya tidak akan mempunyai produksi berkualitas," ujar mantan pekerja di salah satu hotel di Sanur, Bali.
Karena para pekerja dengan sistem perjanjian tertentu, bekerjanya tidak akan fokus memikirkan kelangsungan perusahaan. Sebab, mereka dibayang-bayangi rasa kecewa dan pengabdian selama diperusahaan pun tak merasa dihargai.
"Bagaimana para karyawan atau buruh itu merasa memiliki perusahaan tersebut, karena mereka berdasarkan perjanjian. Dan bekerjanya pun mereka sesuai dengan perjanjian tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, Koordinator Persatuan Rakyat untuk Kemandirian Bangsa (PRKB) Tantowi, saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Bali pada Selasa (1/5) serangkaian Peringatan Hari Buruh Sedunia mengatakan, sudah saatnya pemerintah menghapus sistem "outsourcing" karena merugikan para buruh.
Menurut dia, sistem tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, sebab penghasilan dari sistem "outsourcing" tidak lagi para buruh mendapatkan hak-hak lain, seperti tunjangan hari raya dan tunjangan kesehatan.
"Sebenarnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak asasi manusia. Ini merupakan amanat UUD 1945. Artinya penyataan ini mewajibkan negara memenuhi dan memastikan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi seluruh warga negara," ujarnya.
Ia mengatakan, hal ini tidak sekadar dimaknai sebagai pemberian ruang yang luas bagi rakyat untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan, namun juga harus berdasarkan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia (HAM) yang terkandung dalam UUD 1945.
"Kalau ingin menerapkan sistem 'outsourcing' di Indonesia, maka gajinya harus lebih besar. Seperti di negara-negara maju yang saat ini menerapkan sistem tersebut," kata Tantowi menegaskan.
Revisi sistem 'outsourcing"
Sementara itu, kalangan DPRD Provinsi Bali mendesak pemerintah melakukan revisi terhadap perekrutan tenaga kerja dengan sistem kerja "outsourcing", karena sistem tersebut dianggap merugikan pekerja.
"Kami meminta pemerintah dan Dewan di pusat untuk melakukan revisi terhadap Undang Undang Ketenagakerjaan tersebut, sehingga pemberlakuan sistem 'outsourcing' bisa dihapus atau direvisi," kata Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Ketut Kariyasa Adnyana, baru-baru ini.
Ia mengatakan, pihaknya sudah pernah bersurat ke pemerintah pusat dan ke DPR RI untuk menindaklanjuti tuntutan para buruh atau pekerja beberapa pekan lalu saat melakukan aksi unjuk rasa serangkaian Hari Buruh Internasional pada 1 Mei.
"Kami sudah pernah bersurat terkait tuntutan dari para buruh agar sistem 'outsourching' dihapus saja, karena sistem ini dinilai merugikan para pekerja. Alasannya, mereka tidak mendapat tunjangan hari raya, dan jika kontrak berakhir maka karyawan itu pun tak mendapat pesangon," kata politikus PDIP.
Bahkan, kata dia, sistem "outsourcing" yang berlaku saat ini di Indonesia disalahgunakan karena jauh dari landasan dasar "outsourcing" yang berlaku di negara-negara Asia, Eropa, bahkan di Amerika Serikat.
Mengacu UU Ketenagakerjaan
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kota Denpasar Made Erwin Suryadarma Sena mengatakan, perusahaan merekrutmen tenaga kerja dengan sistem "outsourcing" tersebut dibenarkan, karena diatur dalam Undang Undang Ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, kata Erwin Suryadarma berharap kepada perusahaan yang menerapkan sistem tersebut agar memperlakukan karyawan atau buruh sesuai dengan perjanjian dimaksud.
"Kami tak pungkiri, memang ada perusahaan merekrutmen tenaga kerja dengan sistem 'outsourcing' tapi dalam implementasi kerjanya seperti karyawan tetap. Nah, ini yang tak dibenarkan," ujarnya.
Ia mengatakan, perusahaan yang menerapkan sistem "outsourcing" sebaiknya sebelum merekrut tenaga kerja harus pengumumannya dilakukan secara transparan, artinya dalam perusahaan itu karyawan yang ditugaskan sesuai dengan aturan.
"Pihak perusahaan harus memahami aturan-aturan tersebut. Begitu juga karyawan atau buruh bersangkutan harus menyadari tugas-tugas yang akan dikerjakan, sehingga tidak dirugikan," katanya (I020/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012