Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tahun ini menargetkan dapat memfasilitasi pendaftaran hak cipta sedikitnya 50 karya seni dari para seniman di Pulau Dewata.

"Ini untuk memberikan penjelasan dan memandu para pencipta atau ahli waris dari karya seni itu untuk bagaimana membuat deskripsi karya serta mengungkap dokumen terkait karya seni, kemudian kami bisa fasilitasi pendaftaran hak ciptanya," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan "Kun" Adnyana saat membuka "Workshop Hak Kekayaan Intelektual Bidang Seni" yang digelar di Kampus ISI Denpasar, Jumat.

Pihaknya berharap setelah acara tersebut, maka ada inisiatif dari pencipta ataupun ahli waris karya seni untuk mendatangi Disbud Bali untuk mendiskusikan kembali, selanjutnya difasilitasi pendaftaran hak ciptanya.

"Menurut rencana, kami akan alokasikan 50 atau bisa lebih karena kami juga ingin melakukan kajian dan pendaftaran terhadap indikasi geografis," ujarnya yang juga akademisi ISI Denpasar itu.

Baca juga: Anang : Penegakan UU Hak Cipta tahun 2019 harus serius
Baca juga: Undiksha optimalkan penelitian hasilkan jurnal-hak cipta

Kun Adnyana tidak memungkiri hak cipta yang bersifat perlindungan atas kekayaan intelektual pribadi penciptanya, tiap variannya akan berbeda. Di samping itu, bagi yang penciptanya sudah meninggal, hak cipta ini akan diwariskan ke ahli warisnya, sehingga membutuhkan penelusuran terhadap ahli waris.

"Contohnya, Tari Oleg Tamulilingan yang diciptakan I Mario ini, tentu harus kami telusuri ahli waris yang punya kewenangan untuk kepemilikan ini siapa dan dokumen yang menunjuk karya ini," ucapnya.

Selain akan memfasilitasi pendaftaran hak cipta sedikitnya 50 karya seni, Disbud Bali juga ingin melakukan kajian dan pendaftaran terhadap Indikasi Geografis.

"Selama ini kami timbang-timbang pendaftaran Indikasi Geografis terhadap Seni Lukis Kamasan karena berkembang di sebuah wilayah di Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, dan juga Seni Lukis Batuan di Desa Batuan, Kabupaten Gianyar," katanya.

Kun Adnyana mengatakan pendaftaran Indikasi Geografis membutuhkan dokumen yang jauh lebih lengkap dan kompleks dibandingkan pendaftaran hak cipta.

"Hak Cipta menunjuk hanya pada satu karya seni, satu objek karya, sedangkan Indikasi Geografis menyangkut komunitas penyangganya, karya seni yang dilahirkan, unsur-unsur unik keterlibatan manusia atas karya atau gaya komunal itu," ujarnya.

Sejauh ini, lanjut dia, dokumen Seni Lukis Batuan jauh lebih lengkap, lebih banyak tulisannya, baik yang sudah dilakukan Disbud Bali, maupun dari dalam dan luar negeri.

Sementara itu, narasumber  lainnya Dr Drs I Nyoman Lodra MSi mengatakan permasalahan yang kerap terjadi dalam pendaftaran hak cipta oleh seniman adalah aspek cara penulisan deskripsi atas karya seni yang diciptakan.

"Kalau akademisi, tentu tidak masalah karena memang sudah terbiasa menulis deskripsi," ucapnya yang juga akademisi dari Universitas Negeri Surabaya itu.

Dengan perlindungan hak cipta, nantinya juga berdampak nilai ekonomisnya karena tidak mungkin seniman terus-menerus bisa mencipta. Dengan sudah mempunyai hak cipta, seniman tanpa bekerja pun bisa mendapatkan royalti. "Selain itu, ada keterlibatan untuk pelestarian budaya," katanya.

Saat ini, lanjut dia, di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin memudahkan orang mengetahui, mengakses peristiwa-peristiwa di seluruh dunia, termasuk tentang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

"Kemajuan tersebut telah memudahkan orang untuk melakukan praktik plagiasi, penjiplakan, pencurian kekayaan intelektual. Oleh karena itu kehadiran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) mampu memproteksi praktik plagiasi dan sejenisnya," ucap Lodra.
 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019