Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.

Ada pimpinan PTS lain yang bersorak gembira sambil mencibir, karena berasumsi Undiknas pasti tidak akan dilirik lagi, sehingga ada peluang baginya untuk memperoleh mahasiswa lebih banyak pada tahun ajaran berikutnya.

Cibiran yang dikemas halus dalam wujud saran, sumbang pikir, juga datang dari seorang wartawan.

"Pak, itu sebaiknya diubah. Ikuti saja kampus lainnya turunkan harga. Jadinya akan banyak mahasiswa yang mendaftar di Undiknas. Calon mahasiswa kan kebanyakan sukanya milu-milu tuwung, ikut-ikutan. Jika di suatu kampus mereka melihat ada banyak orang yang mendaftar, pasti yang lainnya akan banyak yang ikut-ikutan."

"Ya, terima kasih atas masukannya, tapi saya kok kurang sreg ya Pak. Nanti kalau sudah lulus, ditanya alumni mana, dan dijawab alumni Undiknas kan malu dong jadinya saya. Banyak punya alumni tapi tidak siap kerja. Karena itu saya lebih suka menjaga kualitas mahasiswa ketimbang kuantitasnya. Jadi, tidak akan ada istilahnya mahasiswa sampai meminta-minta nilai pada dosen. Dan tidak akan ada pula yang sampai berkata Undiknas adalah kampus yang dosennya suka main-main dalam memberikan perkuliahan, hanya mengikuti dua kali pertemuan kuliah dan bisa lulus."

"Kalau begitu, Pak harus siap-siap ditertawai oleh rektor-rektor lainnya. Siap-siap juga muncul di koran karena sedikit mendapatkan mahasiswa."

"Tidak apa-apa Pak. Saya hanya ingin menegakkan aturan. Karena tugas kami adalah mendidik anak bangsa. Memang sudah seharusnya kami memberikan contoh yang bagus. Jangan mengikuti kampus-kampus lainnya yang menurunkan harga. Kami mendidik anak bangsa menjadi pintar. Produk yang kami cetak haruslah orang-orang yang bermutu dan menghasilkan. Bukannya meluluskan mahasiswa sekedarnya. Kalau ini sudah terjadi, berarti unsur bisnis demi memperoleh keuntungan yang dikedepankan. Lantas di mana letak unsur pendidikan yang kami lakukan sebagai lembaga pendidikan."

"Teguh sekali pendirian pak rektor."

Jadi, apa pun kata orang. Apapun pandangan orang, Sri Darma tetap kokoh pada keyakinannya, menaikan SPP di Undiknas.

"Dengan mahasiswa yang sedikit, Undiknas menjadi kampus yang sehat. Kampus yang bisa menyejahterakan dosen dan karyawannya. Tak hanya itu, yang membuat kami bangga adalah alumni Undiknas betul-betul bisa menunjukkan kualitasnya. Terbukti dari kepercayaan yang diberikan para bankir yang selalu merekrut para alumni Undiknas."

Benar saja, Undiknas berubah menjadi kampus yang sehat. Demi semakin menyehatkan Undiknas, Sri Darma memutuskan untuk memusatkan segala aktivitas rektor dan deputi rektor beserta jajarannya di gedung selatan. Sekalipun ruangannya kecil, tak jadi persoalan.

"Mulailah kita fokus di gedung selatan. Dan saya lebih mudah bisa mengontrol kalau ada yang kurang."

Entah ada hubungannya atau tidak, kenaikan SPP yang dibarengi dengan perbaikan infrastruktur secara perlahan-lahan berdampak pada semakin meningkatnya jumlah mahasiswa dari tahun ke tahun. Sekalipun bilangannya tidak mencengangkan, seperti di tahun 1990-an, yang bisa mencapai 1000 mahasiswa. Namun Sri Darma sudah mampu mengurangi atau memerkecil efek buruk dari munculnya UU Guru dan Dosen tahun 2005 terhadap eksistensi PTS non-keguruan.

Bangkit Lewat IT

Sekalipun Sri Darma sudah mampu mengurangi atau memerkecil efek buruk dari munculnya Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005 terhadap eksistensi PTS Non-keguruan, namun itu bukan berarti persoalan yang dihadapi Undiknas sudah selesai begitu saja. Jumlah mahasiswa baru Undiknas relatif masih kurang memadai dibandingkan dengan daya tampungnya. Namun Sri Darma tidak mau berhenti berjuang.

Dia terus, terus, dan terus meningkatkan kualitas Undiknas. Sebab dia yakin sekali masih banyak orang yang mencari perguruan tinggi yang berkualitas, yang bukan berorientasi hanya sekedar memperoleh ijazah ataupun gelar.

Keyakinan Sri Darma seperti itu merupakan efek dari sentilan Pembantu Rektor I Unud beberapa tahun lalu, yang menyatakan kunci keberhasilan perguruan tinggi terletak pada kualitas. Jika kualitasnya bagus pastilah para calon mahasiswa akan berdatangan mencarinya.

"Saya masih ingat betul dengan omongan PR I Unud, yang bilang kalau bermutu pasti akan dicari. Itu berarti saya sama sekali tidak boleh menurunkan kelas Undiknas. Kalau sampai itu terjadi, berarti saya sebagai doktor lulusan Australia tidak punya komitmen mendidik anak bangsa supaya bermutu."

Motivasi meningkatkan kualitas semakin berkecambuk kencang, setelah Sri Darma berbincang-bincang dengan seorang profesor dari Undiksha, Singaraja.

"Kenapa jumlah mahasiswa Undiknas bisa menurun. Padahal akreditasinya sudah bagus. Semuanya B. Coba akreditasinya ditingkatkan lagi, barangkali itu bisa mendongkrak jumlah mahasiswa."

"Logikanya memang seperti itu, tapi agak sulit melakukannya. Masyarakat cenderung mencari yang murah dan mudah. Ibarat membeli baju atau makanan, masyarakat akan mencari tempat yang murah, tanpa hirau dengan kualitas ataupun rasanya. Kondisi ini juga tidak lepas dari efek Bom Bali II. Daya beli masyarakat jadi menurun. Maka tidak heran kalau banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di tempat yang jauh dari kata mahal dan terpenting bisa cepat lulus," ujar Sri Darma sambil diselimuti raut muka yang sedikit tak berdaya. Tak berdaya menghadapi segala keadaan yang kurang menguntungkan bagi Undiknas.

Namun bukan Sri Darma namanya kalau tidak bisa bangkit dari ketidakberdayaan. Kali ini muncul ide pengembangan mutu Undiknas melalui media Information and Technology (IT), seperti yang sudah diupayakannya ketika masih menjabat sebagai PR I Undiknas. Saat itu, seperti sudah dibicarakan pada bagian lain, Sri Darma mengusulkan penambahan beberapa fasilitas di ruang kelas, antara lain pemakaian LCD (Liquid Crystal Display) dan Power Point Slide dalam penyampaian materi kuliah. Namun usulan itu mendapat penolakan dari dosen-dosen senior Undiknas.

Kali ini, setelah menjabat sebagai rektor, Sri Darma lebih leluasa melangkah. Tahun 2006, dia mengajukan permohonan bantuan ke DPR agar Dikti bisa menghibahkan dana ke Undiknas. Permohonan itu dikabulkan. Dananya lantas dimanfaatkan untuk membeli 200 buah laptop. Semuanya diperuntukkan bagi dosen dan karyawan di Undiknas. Namun belum semuanya kebagian. Sampai akhirnya ditahun 2007, semua dosen sudah dilengkapi fasilitas laptop.

Sri Darma lantas menyerukan kepada para dosen supaya mereka tidak sekedar gagah-gagahan menenteng-nenteng laptop, melainkan wajib mempelajari cara memakainya untuk meningkatkan prestasi dan kemampuan masing-masing. Setidaknya supaya mulai terbiasa menggunakan perangkat teknologi modern ketika mengajar. Jadi, para dosen tidak perlu lagi menulis di papan saat menerangkan materi perkuliahan. Cukup membuat power point slide yang berisikan materi perkuliahan. Lalu ditampilkan pada para mahasiswa dengan menggunakan LCD.

Sekalipun ada dosen yang masih belum mengerti cara membuat power point slide, namun mereka tidak boleh berkecil hati, sebab keberadaan internet bisa sangat membantu. Itu karena tidak sedikit text book yang ditransfer ke media internet sudah disertai dengan power poin slide. Mereka tinggal mengopinya dan menggunakannya sebagai bahan mengajar asalkan disertai dengan melakukan observasi data terlebih dahulu. Agar tidak sepenuhnya sama. Kalau dirasa masih ada data yang kurang, bisa dengan cepat mengakses lewat internet.

Sri Darma lantas menyerukan, semua power poin slide yang dipakai sebagai bahan mengajar oleh para dosen itu harus ditransfer ke website Undiknas. Selanjutnya, bagi mahasiswa yang ingin memanfaatkannya dapat mengunduhnya secara leluasa. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017