Denpasar (Antara Bali)- Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar bekerja sama dengan Balai Arkeologi Bali menggelar pameran merujuk pada sosok Gunapriya Dharmmapatni atau yang dikenal sebagai Mahendradatta, yakni permaisuri Raja Udayana.
"Pameran tersebut berlangsung selama sembilan hari, mulai 29 April hingga 7 Mei 2016," kata Kepala Arkeologi Bali, Drs. I Gusti Made Suarbhawa, Rabu.
Melalui tajuk "Mahendradatta: Jejak Arkeologis dan Sosok Historis" ini akan menyuguhkan sejumlah tinggalan arkeologi dari masa kerajaan Bali Kuno yang banyak ditemukan di daerah dataran tinggi, sepanjang daerah aliran sungai Pakerisan dan Petanu, seputar Tampaksiring, Pejeng, Baduhulu, Kabupaten Gianyar bahkan hingga Kintamani, Kabupaten Bangli.
Selain menampilkan aneka tinggalan arkeologis berupa replika maupun foto serta benda-benda asli seputar prasasti, sarkopagus, arca, inskripsi, pameran juga direspon oleh tiga fotografer terpilih dan para perupa dari Komunitas Perupa Tampaksiring "Amarawati Art Community".
Menurut I Gusti Made Suarbhawa, Mahendradatta, memiliki relasi penting dalam sejarah Bali dan Jawa Timur karena melalui perkawinannya dengan Raja Udayana, hubungan Bali dan Jawa Timur semakin erat.
"Indikasinya dapat dilihat dari salah satu putranya yakni Airlangga yang memerintah di Jawa Timur dan Marakata serta Anak Wungsu yang memerintah di Bali," ujar I Gusti Made Suarbhawa.
Pada beberapa prasasti, nama Gunapriya Dharmmapatni kerap disebut lebih dulu sebelum suaminya, Raja Udayana. Hal ini mencerminkan kedudukan terhormat Mahendradatta, keturunan wangsa yang kala itu berkuasa, yaitu Wangsa Isyana, yang pendahulunya adalah Mpu Sindok atau Maharaja Isyana.
Sosok Gunapriya Dharmmapatni banyak disebutkan pada prasasti Bali, antara lain prasasti Serahi tahun 993 Masehi dan prasasti Buahan tahun 994 Masehi, serta prasasti Pucangan tahun 1041.
Sementara sosok Mahendradatta mengemuka dalam lontar, antara lain lontar Mpu Kuturan. Tiga fotografer yang terlibat terdiri atas Ida Bagus Darmasuta, Agus Wiryadhi Saidi dan Phalayasa.
Mereka akan menampilkan foto-foto terpilih yang merangkum sosok perempuan dalam tinggalan historis dan arkeologis, serta figur-figur masa kini cerminan dinamika perubahan yang terjadi.
Sementara 25 seniman dari Komunitas Perupa Tampaksiring akan memamerkan sket-sket hasil berkarya "on the spot" di situs-situs sejarah tersebut.
Mereka antara lain I Made Suwisma, Jro Mangku Nyoman Sutrisna , I Wayan Gede Suwahyu, Jro Jiwatman, I Made Bayak Muliana, I Putu Edy Asmara Putra, I Made Sudarsa, Ngakan Ketut Parweka, Ida Bagus Sudana Astika, Ida Bagus Asmara Wirata(Gus Chenk), Ida Bagus Dewangkara (Gus Apeng), I Nyoman Suarnata (war), I Made Renaba, Pande Wayan Suputra, I Made Kartiyoga, I Wayan Arinata, Dewa Gede Suputra, I Made Adi Putra Sentana, Ngakan Putu Agus Artha Wijaya, I Wayan Gede Kesuma Dana, I Made Ardiana, Ni Komang Atmi Kristia Dewi, Ni Komang Kartika Tri Dewi, Damar Langit Timur, I Nyoman Kandika.
Susanta Dwitanaya, mewakili perupa Tampaksiring mengatakan, sebagai respon dari tematik pameran Mehendradatta ini mereka mengadakan proses berkarya "on the spot", berupa sketsa, drawing, water colour painting, di situs-situs kawasan DAS Pakerisan, seperti Tirta Empul, Mangening dan Gunung Kawi.
Lokasi tersebut diyakini merupakan peninggalan arkeologis dari dinasti Warmmadewa maupun Raja Udayana dan keturunannya, termasuk sosok Gunapriya Dharmmapatni atau Mahendradatta yang merupakan istri Raja Udayana.
Banyak tinggalan arkeologi di wilayah tersebut, mencerminkan kepercayaan masyarakat Bali yang menganut agama Hindu, pada beberapa teks lontar sering disebut sebagai Agama Tirtha, dimana air merupakan unsur penting dalam setiap ritual keagamaan.
Sejumlah candi yang terdapat di sana antara lain Candi Gunung Kawi, Candi Kerobokan, Candi Kelebutan, dan Candi Jukut Paku. (WDY)