Jakarta (Antara Bali) - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan pihaknya akan
mendukung Simposium "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan"
apabila ada bahasan mengenai rehabilitasi korban dan dampak dari tragedi
tersebut.
"Simposium akan didukung apabila ada rehabilitasi. Menurut kerangka
acuan, jelas bahwa simposium hanya untuk membahas peristiwa 1965-1966 di
sektor historis. Hanya ada satu sesi yang membahas bagaimana mengatasi
permasalahan 1965-1966," kata Haris dalam konferensi pers di Jakarta,
Rabu.
Menurut dia, simposium belum mampu membahas dampak lanjutan yang
terjadi setelah peristiwa yang terjadi di 1965, terutama dari segi
psikologis korban dan situasi politik pascatragedi 1965.
"Peristiwa 1965 tidak hanya soal apa yang terjadi pada tahun
tersebut, tapi peristiwa tersebut memutarbalikkan semua bangunan sosial
politik yang menyebabkan militer dominan dalam waktu yang lama dan masuk
ke sejumlah sektor yang hampir tidak menyisakan ruang untuk kelompok
pro-demokrasi," kata dia.
Peristiwa 1965, menurut Haris, memberikan dampak buruk berupa
politik Orde Baru yang lekat dengan praktik kekerasan, penculikan dan
penghilangan orang. Namun, Haris mengatakan ada sejumlah kemajuan untuk pemulihan hak
korban 1965-1966 dalam 18 tahun transisi politik di Indonesia.
Misalnya pembebasan tahanan politik ketika era kepemimpinan BJ
Habibie, perubahan peraturan perundang-undangan yang memberikan hak
politik korban stigma, dan mahkamah agung memberikan hak untuk mencabut
sejumlah peraturan yang menjamin diskriminasi.
"Masalahnya, pengalaman Kontras memberikan pembelajaran bahwa mereka
(korban) sudah dibebaskan tapi belum mengalami kebebasan," kata Haris.
Simposium nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan"
akan dilaksanakan 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Ketua Pelaksana Simposiun Suryo Susilo mengatakan acara tersebut
akan dihadiri lebih kurang 200 peserta dari kalangan akademisi, pegiat
hak asasi manusia, korban pelanggaran HAM berat dan organisasi korban,
wakil partai politik, pelaku serta wakil dari lembaga-lembaga
pemerintah.
Salah satu arsitek yang mendorong pelaksanaan simposium tersebut
adalah Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto. Sidarto mengatakan hasil akhir simposium ini diharapkan memberikan
rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Lembaga swadaya masyarakat Human Right Watch mendorong proses
pengungkapan kebenaran (truth-telling process) mengenai tragedi
pembantaian 1965-1966 jelang pelaksanaan simposium.
"Membuka kebenaran mengenai tragedi 1965-1966 penting untuk
mengungkap kejahatan agar tidak diabaikan. Banyak korban yang masih
membawa sejarah kelam terkait suku, wilayah, dan agama, dan kita perlu
menjembatani proses penanganan kasus ini," kata Direktur Eksekutif Human
Right Watch (HRW) Kenneth Roth.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menyatakan akan fokus pada
upaya rekonsiliasi kepada korban tragedi 1965-1966. Namun, menurut Roth, rekonsiliasi akan menjadi salah kaprah apabila
tidak dibarengi dengan membicarakan kebenaran yang terjadi atas kasus
tersebut. (WDY)
Simposium Tragedi 1965-1966 Perlu Bahas Rehabilitasi
Kamis, 14 April 2016 8:32 WIB