Karangasem (Antara Bali) - Warga Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, menggelar kegiatan Hari Raya Nyepi Adat sebagai rangkaian ritual Usaba Dalem yang berlangsung setahun sekali setiap Tilem Kedasa sesuai penanggalan Bali.
"Nyepi Adat di Desa Ulakan ini berlangsung pada pagi mulai pukul 06.00 WITA sampai pukul 12.00 WITA. Warga tidak melakukan aktivitas apa-apa, karena melaksanakan Catur Brata Penyepian," ujar I Wayan Candra Putra Bagus, warga Dusun Tanah Ampo, Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Jumat.
Sehari sebelum mengadakan Nyepi Adat, terlebih dulu warga mengadakan upacara atau ritual yang dilangsungkan di areal kuburan dan Pura Prajapati.
"Sesuai petunjuk pemangku desa, ritual atau upacara di kuburan itu diadakan sehubungan ketika ada upacara di Pura Dalem, maka semua arwah, baik yang belum atau yang sudah diaben, akan bangkit untuk `ngaturang ayah` di Pura Dalem," ujar Wayan Candra.
Dia melanjutkan, kemudian para warga setempat menghaturkan sesajian di Pura Dalem. Sesajian atau biasa disebut punjungan itu, merupakan jajanan dan buah-buahan yang ditumpuk menggunakan kayu. Selain sesajian, ada pula rantasan berupa pakaian dan kain baru, yang disusun memakai penyangga khusus.
Upacara ini namanya Nyah Cahin, artinya berbagai sesajen yang akan dihaturkan kepada para atma, yang sudah menjadi abdi Ida Ratu Dalem. Ritual itu berlangsung dari pukul 07.00 WITA sampai selesai kira-kira pukul 12.00 Wita.
Setelah Upacara Nyah Cahin selesai, para laki-laki kembali lagi ke pura untuk membuat sesajian khusus untuk Pecaruan Agung, yaitu Pecaru Panca Sato. Menggunakan persembahan sapi, ayam, itik, babi dan anjing belang bungkem (anjing yang warnanya coklat muda dan mulutnya berwarna hitam).
"Semua pecaru itu cuma dicari kulit, kaki, kepala, lalu ditempatkan di empat penjuru dan satu di tengah: sapi di selatan kepala menghadap ke laut, babi di timur kepala menghadap timur, itik di utara dengan kepala ke utara, anjing ke barat dengan kepala ke barat serta ayam brumbun letaknya di tengah," ujar Wayan Candra.
Malam harinya, para muda-mudi warga setempat yang sudah ditunjuk bendesa adat mempersiapkan daun kelapa kering yang sudah diikat sedemikian rupa. Bertepatan pukul 23.00 Wita, Ida Betara `tedun` akan diiring ke tempat bersemayam. Sewaktu Ida Betara turun dari Pura Dalem, diiringi suara gong dan Tari Rejang.
"Kemudian satu demi satu orang akan meminta api, yang lantas dinyalakan pada daun kelapa kering. Dari situlah warga yang kerasukan dan membawa api akan saling menyerang, sehingga terjadi perang api. Namun pecalang sudah siap untuk menjaga kemungkinan yang akan terjadi, sehingga semua kegiatan berlangsung lancar sampai depan Pura Puseh. Setiba di depan pura, semua obor dari daun kelapa lantas dikumpulkan dan apinya pun membubung tinggi," ucap dia.
Dia melanjutkan, warga yang terlibat perang api dan mengalami luka bakar, kemudian diberikan obat tradisional `boreh`. Tidak sampai sehari, luka bakar itu biasanya mengering dan sembuh.
"Setelah tradisi perang api digelar, esok harinya baru Nyepi Adat dilangsungkan. Semua hening dan menyepi, menuju kedamaian. Jalan provinsi tetap buka, namun tidak ada kendaraan yang boleh berhenti di wilayah Ulakan. Sedang jalan desa dijaga pecalang. Tidak boleh ada aktivitas sampai tiba waktu Ngembak Geni, barulah warga boleh beraktivitas di luar rumah kembali," ujar Wayan Candra. (WDY)