Yogyakarta (Antara Bali) - Indonesia Hornbill Conservation Society
(IHCS) melalui hasil penelitiannya selama 2015 di Sumatera dan
Kalimantan mengungkapkan aktivitas perdagangan paruh burung Rangkong
(rhyteceros plicatus) semakin terorganisasi.
"Masih dan semakin terorganisasi, yang jelas tidak lagi menggunakan
cara konvensional secara terbuka, semua tertutup," kata aktivis IHCS
Yoyok Hadiprakarsa dalam sebuah diskusi bersama pemerhati dan peneliti
burung di Yogyakarta, Jumat malam.
Modus operandi perdagangan paruh burung Rangkong, menurut Yoyok
tidak lagi dilakukan di bandar udara. Setelah 2014, menurut dia, model
perdagangannya sudah berubah melalui jalur darat dan laut, bahkan
melalui jalur tikus di perbatasan.
"Bahkan disinyalir telah memanfaatkan jaringan narkoba," kata dia.
Menurut Yoyok, burung Rangkong hingga kini masih banyak diburu
karena harga paruh burung itu di pasar internasional harganya cukup
mahal. Khusus untuk burung rangkong gading, harga paruhnya per kilogram
mengalahkan harga gading gajah.
Rangkong gading berbeda dengan rangkong jenis lainnya. Burung yang
menjadi maskot Provinsi Kalimantan Barat itu memiliki paruh gading yang
sempurna. Sekitar 13 persen berat tubuhya ada di kepala atau paruhnya
dengan kualitas yang disamakan dengan gading gajah.
"Karena ciri khas tersebut, burung rangkong jenis itu konon sudah diburu sejak Dinasti Ming," kata dia.
Berdasarkan data dari lembaganya selama 2013, total sebanyak 2.343
paruh rangkong yang berhasil disita di Indonesia, di Tiongkok, dan
Amerika Serikat (AS). Dari hasil investigasi yang dilakukan menyimpulkan
bahwa secara keseluruhan telah terkonfirmasi bahwa paruh burung
rangkong tersebut berasal dari Indonesia.
Menurut Yoyok, perlindungan burung Rangkong harus menjadi perhatian
dan kesadaran bersama. Apalagi, fungsi ekologi yang dimilikinya cukup
bermanfaat untuk menjaga kelestarian hutan.
Sebagai burung pemakan buah atau biji-bijian, menurut Yoyok, burung
rangkong juga mampu menebarkan biji melalui daya jelajahnya yang mampu
mencapai 88.000 hektare. Sembari terbang, biji yang masih tersimpan di
paruh burung itu ditebar dengan tingkat kesuksesan mencapai 75 persen.
"Dia adalah penjaga iklim, pelaku reboisasi hutan," kata dia.
Sementara itu, aktivis Wildlife Unit Crime Giyanto mengatakan saat
ini perdagangan burung telah marak dilakukan dengan sistem dalam
jaringan (daring). Melalui cara itu, perdagangan burung khususnya yang
memiliki status dilindungi dan terancam punah dinilai akan lebih aman.
"Modus ini patut kita khawatirkan karena semakin terselubung," kata dia.
Oleh sebab itu, Giyanto berharap untuk memberikan efek jera sanksi
hukum terhadap para penyelundup satwa khususnya burung dilindungi atau
terancam punah perlu diterapkan secara tegas serta diperberat.
Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Bidang
Konservasi Sumber Daya Alam Sony Supartono di Yogyakarta, Kamis (4/2)
mendorong agar Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya segera direvisi agar sanksi
terhadap penyelundup satwa dilindungi dapat diperberat.
Menurut dia, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sanksi kepada pelaku
perdagangan satwa dilindungi maksimal hanya 5 tahun penjara sehingga
melalui revisi UU itu Kemen LHK ingin meningkatkan hukman menjadi
minimal 5 tahun.
"Tidak memberikan efek jera, apalagi banyak kasus yang sama, namun putusan tiga bulan atau percobaan enam bulan," kata dia. (WDY)
Perdagangan Paruh Burung Rangkong Semakin Terorganisasi
Sabtu, 6 Februari 2016 8:19 WIB