Kepulauan Nusantara dari Sabang sampai Merauke dikenal sebagai daerah yang subur dengan curah hujan yang tinggi sehingga tanaman apa saja yang dikembangkan akan tumbuh dan sanggup memberikan kehidupan yang layak bagi kehidupan masyarakat.
Atas dasar potensi yang besar itu sejak awal masa pemerintahan, Presiden RI Joko Widodo memprogramkan untuk meraih kembali swasembada pangan, yang dulu pernah dicapai pada masa kepemimpinan presiden ke-2 RI H.M. Soeharto.
Bahkan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menargetkan akan mencapai swasembada pangan dalam kurun waktu tiga tahun, tutur pengamat masalah pertanian di Bali Dr. I Gede Sedana yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar.
Oleh sebab itu, potensi besar bidang pertanian di Indonesia itu diharapkan bisa diolah dalam mewujudkan pertanian yang berdaulat berbasis kesejahteraan rakyat, bukan saja pertanian tanaman pangan, juga menyangkut sektor perkebunan, kehutanan serta perikanan dan kelautan.
Keberlanjutan pertanian menjadi salah satu tujuan pembangunan pertanian yang menekankan pada kesejahteraan petani melalui kemitraan dengan melibatkan berbagai pelaku pertanian lainnya.
Kemitraan antara para petani, kelompok petani dan pelaku bisnis termasuk kalangan perbankan hendaknya dapat dibalut dalam suatu rantai bisnis yang dikenal dengan model bisnis.
Model bisnis yang akan dikembangkan tersebut menurut Gede Sedana, alumnus program pascasarjana Universitas Udayana itu harus disepakati terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang tercakup di dalamnya sebelum terimplementasi dalam rantai bisnis komoditas.
Salah satu komponen penting untuk kesinambungan pertanian itu adanya insentif ekonomi bagi seluruh pelaku yang terlibat dalam model bisnis untuk komoditas tertentu.
Insentif ekonomis akan terwujud pada saat terjadi interaksi yang saling menguntungkan dalam aliran produk-produk pertanian dan aliran layanan termasuk uang lancar dalam model bisnis.
Pada model bisnis kopi misalnya, para petani melalui kelompoknya atau koperasi petani kopi dan unit pengolahan hasil (UPH) memiliki rantai bisnis dengan eksportir dan pihak bank sebagai penyedia kredit.
Melalui model bisnis itu UPH dan koperasi membeli buah kopi gelondong merah dari para petani di sekitarnya atau yang menjadi anggota untuk kemudian diolah sesuai dengan standar prosedur operasi (SPO) pengolahan yang ditentukan oleh eksporter. Dengan demikian eksportir kopi tidak semata-mata membeli buah kopi yang diolah dari UPH atau koperasi, tetapi juga memberikan SPO kepada koperasi dan UPH guna memperoleh hasil olahan kopi yang sesuai atau dikenal dengan kopi spesialti.
Dukungan kebijakan
Gede Sedana, pria kelahiran Singaraja, 53 tahun yang silam itu menilai, program bidang pertanian di Indonesia masih memerlukan adanya dukungan kebijakan yang bermuara untuk menyukseskan sektor pertanian dalam arti luas.
Sektor pertanian harus menjadi salah satu sasaran bagi sektor lain yang memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan sektor pertanian, seperti industri, irigasi, transportasi, perbankan dan pendidikan.
Salah satu sistem yang dapat dikembangkan adalah penguatan sistem agribisnis. Sistem tersebut merupakan suatu konsep yang utuh, mulai dari proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian.
Pemerintah melalui sistem agribisnis, dapat merancang adanya peningkatan nilai tambah bagi setiap pelaku usaha pertanian, khususnya para petani, karena petani tidak semata-mata ditempatkan sebagai produsen atau penghasil produk, namun berorientasi pada aspek bisnis terhadap produk yang dihasilkannya.
Produk pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan, semuanya dapat diformat menjadi satu kesatuan sistem yang sangat terintegrasi dan menguntungkan secara proporsional dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, agroindustri hulu dan hilir diharapkan menjadi bagian yang sangat signifikan integrasinya dengan sistem produksi pertanian. Integrasi tersebut juga memerlukan sistem penunjang agribisnis dapat mewujudkan pertanian berdaulat dan berbasis kesejahteraan petani.
Pertanian yang berdaulat tersebut dimaksudkan sistem pertanian di Indonesia termasuk di Bali dapat memproduksi hasil pertanian dalam arti luas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sementara itu, produk-produk impor hanyalah bersifat pelengkap, sehingga ketergantungan impor untuk produk-produk olahan dan konsumsi dapat dihindari, sebaliknya mampu meningkatkan ekspornya.
Semua itu memberikan dampak positif dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, sekaligus besarnya ekspor produk seiring dengan meningkatnya pendapatan petani produsen.
Dengan demikian sektor pertanian menjadi basis utama sekaligus muara dari seluruh aspek kegiatan pembangunan dengan dimensi sumber daya manusia (petani).
Namun demikian banyak pendapat yang menyatakan bahwa pembangunan saat ini belum mampu mengangkat kesejahteraan petani seperti yang diharapkan oleh para petani dan keluarganya.
Salah satu indikasi dari hal itu tidak ada cita-cita keluarga petani untuk menjadi petani karena nilai tukar petani (NTP) yang tidak seimbang dengan kegiatan ekonomi nonpertanian.
Semua itu menjadi tantangan ke depan semakin menyusutnya lahan-lahan pertanian akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi. Padahal, penduduk yang berkecimpung dalam sektor pertanian masih relatif tinggi dan potensi pengembangan lahan-lahan pertanian yakni tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan sangat baik seiring dengan perbaikan teknologi pertanian.
Oleh sebab itu kini dibutuhkan terobosan baru dalam membangun sektor pertanian, khususnya yang berkenaan dengan meningkatkan kesejahteraan petani, ujar Gede Sedana. (WDY)
Pertanian Berkelanjutan Melalui Model Bisnis
Senin, 25 Januari 2016 14:19 WIB