Tabanan (Antara Bali) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggelar pertemuan kebun raya tingkat regional Asia Tenggara ke-5 bertempat di Kebun Raya Eka Karya Bedugul, 2-5 November 2015.
"Tujuan digelarnya acara ini adalah untuk memperkuat peran Indonesia sebagai `national focal point` strategi global konservasi tumbuhan," kata Kepala LIPI, Prof Dr Iskandar Zulkarnain di Bedugul, Tabanan Bali, Senin.
Ia memaparkan, selain melibatkan negara lingkup Asia Tenggara, penyelenggaraan pertemuan yang dikemas dalam "Southeast Asia Botanic Gardens (SEABG) Network Meeting" juga diikuti beberapa negara luar ASEAN seperti Meksiko dan Jepang.
Iskandar Zulkarnain menjelaskan, keanekaragaman hayati kawasan Asia Tenggara menghadapi ancaman kepunahan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu karena menjadi salah satu titik panas atau incaran eksplorasi di dunia.
Ia berpendapat, untuk menyelamatkan dan melakukan konservasi tentu tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri. "Kekuatan jejaring kebun raya regional sangat perlu dikembangkan untuk lebih aktif lagi memperjuangkan dan menyuarakan konservasi tumbuhan di tingkat dunia," ungkap dia.
Dikatakan, pertemuan kelima SEABG didukung penuh sebagai wujud nyata upaya penyelamatan keanekaragaman hayati di kawasan Asia Tenggara.
"Tak hanya itu, upaya konservasi setiap negara harus dilakukan secara serius seperti Indonesia yang saat ini serius menyikapi pendataan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayatinya," tukasnya.
Iskandar menyebutkan, Indonesia saat ini membuat berbagai kebijakan nasional terkait konservasi sumber daya hayati dari level ekosistem hingga genetik dimana kebijakan dan strategi tersebut tertuang dalam "Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan" (IBSAP), "Termasuk pula berbagai legislasi terkait keanekaragaman ekosistem hingga keanekaragaman genetik," katanya.
Sementara itu, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Prof Dr Enny Sudarmonowati menambahkan, Indonesia juga menjadi negara ke-26 yang meratifikasi "Protokol Nagoya" untuk melindungi sumber daya hayatinya.
Ia menjelaskan, Protokol Nagoya mengatur akses pada sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman Hayati di suatu negara.
Menurut dia, bagi Indonesia sendiri, meratifikasi Protokol tersebut memiliki peluang dan tantangan dan peluangnya adalah meningkatkan kesempatan berbagi sumber daya hayati secara adil dan seimbang bagi masyarakat dan penduduk lokal, juga meningkatkan kerja sama multisektoral yang melibatkan masyarakat lokal, swasta dan lembaga internasional.
"Sedangkan, tantangannya adalah bagaimana membangun otoritas nasional yang bersifat multisektoral sebagai lembaga pengelola sumber daya genetika Indonesia," sambungnya.
Selain itu, Enny berharap bahwa melalui pertemuan SEABG ini juga memberikan wawasan untuk mengimplementasikan ratifikasi Protokol Nagoya. "ABS memberikan pencerahan bagi para manajer di kebun raya- kebun raya ataupun pihak terkait sumber daya hayati untuk mengawal implementasinya di lapangan pada level nasional," katanya.
Sementara terkait pertemuan SEABG sendiri, Enny menyambut baik antusiasme berbagai negara Asia Tenggara yang telah bersedia hadir. Dirinya pun memberikan apresiasi pula kepada para delegasi dari negara luar kawasan Asia Tenggara yang turut pula berpartisipasi.
"Semuanya ada 17 negara yang berkenan hadir, tidak hanya dari kawasan Asia Tenggara saja, tetapi juga dari Jepang, Tiongkok, Taiwan, Australia, Amerika Serikat dan Seychelles, juga tim BGCI dari Inggris," jelas Enny. (WDY)