Denpasar (Antara Bali) - Komisi III DPRD Bali memanggil PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III Cabang Benoa, untuk menanyakan sejumlah fasilitas penunjang yang dibangun tanpa berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
"Kegiatan operasional Pelindo Benoa itu di daerah kita. Jadi Pelindo harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah," kata anggota Komisi III DPRD Bali, Kadek Diana, seusai pertemuan dengan manajemen Pelindo III Benoa, di Denpasar, Jumat.
"Mereka tidak bisa mengabaikan kita dalam melakukan aktivitas di pelabuhan. Aturannya mengatur demikian," katanya.
Secara aturan, kata Diana, dasar hukum yang digunakan Pelindo selama ini sangat lemah. Mereka tak bisa lagi beraktivitas tanpa koordinasi. Izin dan pengawasan pemerintah daerah di Bali. Pelindo tak lagi menjadi `raja` Pelabuhan Benoa.
Ia menjelaskan, pihaknya menggali persoalan di Pelindo, baik persoalan payung hukum landasan operasional, dan kegiatan mereka di pelabuhan maupun di luar pelabuhan seperti Rencana Induk Pengembangan (RIP) pelabuhan.
Dikatakannya, pihaknya mendalami aturan pengelolaan laut, hutan dan tata ruang. Ternyata Pelindo hanya menggunakan dasar hukum Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri, yakni Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan, serta UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Kelautan yang menyebutkan Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan (KSOP) Benoa memiliki otoritas di pelabuhan, sementara Pelindo hanya pelaksana.
"Dasar aturan itulah yang membuat Pelindo dan KSOP seolah menjadi raja di kawasan Pelabuhan Benoa," ujar Diana.
Menurut Ketua Pansus Arahan Peraturan Zonasi (APZ) DPRD Bali ini, ada aturan lain yang harus dipatuhi Pelindo maupun KSOP, yakni UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Tata Ruang, dan UU Nomor 23 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Diana menegaskan, mengacu pada UU Nomor 23 tentang Pemda, Pemprov Bali memiliki kewenangan pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil di luar kegiatan penambangan minyak dan gas bumi, serta berwenang menerbitkan izin pemanfaatannya. Di atas 12 mil itu kewenangan pemerintah pusat.
"Ternyata Pelindo belum tahu itu. Secara normatif, kajian aturan itu untuk menyelesaikan persoalan di Pelindo selama ini seperti keberadaan helipad, Restoran Akame, pengurukan sebagaimana banyak diberitakan selama ini," katanya.
Politisi asal Kabupaten Gianyar ini meminta Pelindo untuk mengacu pada aturan yang ada dalam kegiatan operasional di Pelabuhan Benoa.
"Perlu pemahaman tentang aturan tanpa ada kepentingan. Harus ada sinergitas. Karena belakangan ini aktivitas Pelindo dan KSOP jadi polemik. Jangan mentang-mentang bawa SKB dua menteri dan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Kelautan yang menguatkan mereka melakukan aktivitas tanpa ada sinergi dengan UU yang lain.
Ada dua UU lain, yakni UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Tata Ruang dan UU Nomor 23 tentang Pemda yang harus mereka patuhi.
"Kami bisa mengawal mereka berdasarkan UU itu. SKB dua menteri tersebut kekuatan hukumnya lebih rendah dari UU. Itu harus mereka sadari. Mereka beroperasi di wilayah kita, jadi harus berkoordinasi dengan kita dong," katanya.
Selanjutnya, Diana mengatakan, akan melakukan pembahasan lebih lanjut bersama Pelindo dengan mengundang KSOP Benoa.
"Pihak Pelindo mengatakan mereka hanya pelaksana. Otoritas pelabuhan ada pada KSOP Benoa. Makanya nanti kami akan undang juga KSOP Benoa," katanya. (WDY)