Jalan beraspal itu tidak begitu mulus, lebarnya sempit, hanya pas untuk satu kendaraan roda empat.
Trotoar di sepanjang tepi jalan mengikuti selokan tertata apik, meskipun tidak sebaik proyek serupa di perkotaan.
Air irigasi pertanian tradisional (subak) itu tampak jernih, mengalir lancar menyebar menggenangi sawah dan kolam ikan yang terbentang di hilir Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan hingga sejauh 25 kilometer barat laut Denpasar.
Jaringan jalan sempit yang membelah subak Mole dan subak Sengawang itu memiliki hamparan sawah sekitar 75 hektar sepanjang hampir dua kilometer hasil pelebaran jalan setapak yang dilakukan secara gotong royong petani setempat.
Hasil pelebaran itu mampu memberikan kemudahan bagi petani dalam mengangkut gabah, maupun hasil sayur mayur dan jenis palawija lainnya.
Kedua subak tersebut merupakan bagian dari ratusan subak yang mengalami panen raya di Bali dalam bulan April-Mei 2015, tutur Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardana.
Sawah di Kabupaten Tabanan dan delapan daerah lainnya di Bali mengalami panen raya yang mencapai puluhan ribu hektar sehingga hasil gabah melimpah ruah dan membuat harga turun baik ditingkat petani maupun penggilingan.
Petani menjual produksi gabah selesai panen karena tidak memiliki lantai jemur untuk mengeringkan gabah hasil panennya dalam jumlah memadai, ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Panusunan Siregar.
Melimpahnya produksi gabah menyebabkan harga gabah GKP pada tingkat petani pada bulan April 2015 menurun sebesar 12,18 persen dibandingkan dengan bulan Maret 2015.
Demikian juga harga gabah di tingkat penggilingan turun sebesar 13,43 persen, namun umumnya masih di atas harga patokan pemerintah (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp3.700 perkilogram.
Harga gabah di tingkat petani sebesar Rp3.785,53 perkilogram dan tingkat penggilingan Rp3.857,96 perkilogram.
Transaksi gabah kering panen tertinggi tingkat petani terjadi di Kabupaten Karangasem sebesar Rp4.857,29 perkilogram untuk varietas Ciherang.
Sedangkan harga terendah di Kabupaten Buleleng yakni Rp3.200 perkilogram untuk varietas Ciherang sehingga berada di bawah HPP Rp3.700 perkilogram.
Pengamat masalah pertanian Dr Gede Sedana menganggap kebijakan pemerintah menyangkut soal impor beras sangat melukai hati para petani karena sangat merugikan petani dengan merusak harga beras dalam negeri.
Kondisi yang demikian itu mencerminkan revitalisasi pertanian untuk mewujudkan swasembada beras yang dicanangkan Presiden tampaknya hanya sekadar retorika belaka dimana kebijakan pemerintah mengimpor beras belum berpihak kepada petani.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendera Denpasar itu mengingatkan pemerintah bahwa membuka keran impor beras harus dengan perhitungan yang matang dan sedapat mungkin tidak menimbulkan dampak buruk dalam negeri.
Namun hal itu sangat dimungkinkan terjadinya ketidakbenaran dalam menghitung produksi gabah dan beras dalam negeri termasuk kebutuhan atau konsumsi penduduk.
"Ini berarti juga bahwa di Indonesia belum tersedia `database` (pusat data) perberasan yang memberikan informasi faktual mengenai produksi, produktivitas, dan konsumsi di setiap daerah di tanah air," ujarnya.
Dengan tidak tersedianya pusat data tentang persediaan pangan di setiap daerah di Nusantara dapat memungkinkan terjadinya kesalahan perhitungan dan berujung kepada penentuan kebijakan yang kurang berpihak kepada petani.
Gede Sedana yang merupakan alumnus program pascasarjana Universitas Udayana itu mengingatkan pusat data mengenai beras belum disusun secara maksimal antara lain mengenai subsidi pupuk, dukungan benih, irigasi, pasar desa, tenaga penyuluh dan sarana prasarana lain dalam bidang pertanian.
Selain itu tidak ada wadah kelembagaan dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan petani dalam memproduksi beras.
Hal itu menunjukkan lemahnya kebijakan bidang pertanian, meskipun sudah ada wacana revitalisasi pertanian.
"Kebijakan revitalisasi pertanian tidak digarap secara serius sehingga belum mampu mendukung keberlangsungan hidup petani, sekaligus memberikan dampak negatif terhadap perekonomian nasional," ujar Sedana.
Pria kelahiran Singaraja 51 tahun yang silam itu menegaskan, impor beras secara tidak langsung menyudutkan posisi petani di tengah gencarnya program pemerintah untuk mampu meraih kembali swasembada pangan yang pernah disandang Indonesia pada tahun 1984.
Impor beras membawa konsekuensi terhadap turunnya harga gabah di tingkat petani, menjadi disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padi, mengurangi cadangan devisa dan ketergantungan terhadap pangan luar negeri.
Oleh sebab itu Sedana menyebut pemerintah hendaknya menghindari impor beras secara berkelanjutan dan meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara nasional.
Upaya itu dapat ditempuh dengan melakukan promosi pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis usaha tani padi.
Berbagai program promosi dapat dilakukan secara berkelanjutan menyangkut pengembangan infrastruktur mendukung usaha tani padi dan meningkatkan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan.
Hal lain yang tidak kalah penting meningkatkan mutu intensifikasi uasaha tani padi dengan menggunakan teknologi maju, menerapkan ekstensifikasi lahan pertanian terutama di luar Jawa serta meningkatkan akses petani terhadap sarana pengolahan paskapanen dan pemasaran.
Untuk itu diperlukan adanya kebijakan yang implementasinya khususnya mengenai pembelian gabah oleh pemerintah apakah melalui Bulog atau Perusahaan Umum Daerah dengan harga yang sangat layak bagi petani.
Upaya itu untuk menggairahkan petani berusaha tani secara intensif dan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani.
Pada sisi lain pemerintah wajib menjaga harga beras sehingga tidak merugikan konsumen termasuk petani itu sendiri, ujar Gede Sedana.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel pada acara "Surutnya Kinerja Ekonomi-Politik Kabinet Kerja" di Jakarta, Sabtu (16/5) menegaskan, keputusan untuk melakukan impor beras menjadi pilihan terakhir yang akan diambil pemerintah terkait pemenuhan stok beras nasional menjelang Ramadhan 2015.
Impor beras akan menjadi keputusan terakhir karena hingga saat ini Menteri Pertanian mengatakan penyerapan beras masih baik, persediaan beras masih cukup untuk konsumsi nasional.
Kondisi demikian juga dibenarkan oleh Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) sehingga sampai sekarang belum ada kepastian mengenai pemberlakuan impor beras.
Menurut Rachmat Gobel, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil sudah berkoordinasi dengan sejumlah pejabat instansi dan kementerian terkait guna mengamankan stok beras yang ditujukan untuk mencegah inflasi melonjak lebih tinggi akibat harga bahan pokok kerap tidak stabil saat memasuki puasa dan lebaran.
Meskipun demikian pemerintah akan siap jika memang penambahan persediaan beras yang didatangkan dari luar negeri tersebut harus dilakukan.
"Kalau memang nanti harus impor, itu akan kita laksanakan secara G to G (government to government)," ujarnya.
Terkait masalah beras ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil telah menuturkan keputusan untuk memberikan kepastian terkait impor beras akan dikeluarkan pada akhir Mei atau awal Juni 2015.
Serikat Petani Indonesia (SPI) mengimbau pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak impor beras di tengah fakta menurunnya nilai tukar petani (NTP) pangan.
"Jika pemerintah impor beras, maka NTP akan semakin jatuh. Petani pangan yang mayoritas mengandalkan padi, akan semakin miskin," ujar Ketua Umum SPI Henry Saragih. (WDY)
Kebijakan Impor Beras Lukai Petani
Kamis, 21 Mei 2015 21:32 WIB