Sosok wanita Bali dikenal gigih dan sanggup kerja produktif dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Setiap saat kaum hawa itu sibuk menyiapkan sarana ritual serangkaian hari suci dan kegiatan keagamaan lainnya.
Kehalusan jiwa dan watak kaum perempuan di tengah tugasnya sehari-hari masih bisa tersenyum berkat kelembutan dan kepiawaian menari di atas pentas maupun keahlian membuat rangkaian janur.
Peran wanita yang demikian itu mempunyai andil dalam mewujudkan seantero jagat Bali mampu memancarkan rona religius sehingga membuat setiap orang, termasuk wisatawan mancanegara merasa nyaman, tenteram, dan damai berliburan di Pulau Seribu Pura itu.
I Gusti Ayu Putu Erawati (50), sosok wanita kelahiran Desa Tajen, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, melakoni hal itu di luar aktivitas dan kesibukannya mengelola sebuah biro perjalanan wisata (BPW) di Kota Denpasar.
Wanita kelahiran 10 Juni 1965 yang sering mengantarkan wisatawan mancanegara dalam menikmati liburan di Bali, sering menerima keluhan para petani bahwa kehidupan seorang petani berada di bawah garis kemiskinan. Namun, menjadi objek yang menarik dan dibangga-banggakan para turis.
Istri dari almarhum I Gusti Made Suardana itu terinspirasi dari keluhan para petani yang diperparah lagi dengan alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali, membentuk Yayasan Trikaya Bali, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap sektor pertanian.
Ibu dari dua putra dan dua putri lewat yayasan yang didirikan pada tahun 2010 atau lima tahun yang silam kini siap berperan serta menyukseskan pembangunan bidang pertanian untuk meraih kembali swasembada pangan yang menjadi penekanan Presiden RI Joko Widodo.
Nenek dua cucu itu mengaku bahwa jauh sebelum kepala negara mencanangkan untuk meraih kembali swasembada pangan, dirinya telah memberikan bantuan dan pendampingan kepada petani dalam meningkatkan produksi persatuan hektare.
I Gusti Ayu Putu Erawati sebelum mandiri mengelola BPW hingga sekarang, selama 12 tahun, sempat bekerja di Grand Bali Beach (GBB) Sanur.
Bantuan dan pendampingan yang diberikan kepada petani yang terhimpun dalam wadah subak tersebar di tujuh dari sembilan kabupaten/kota di Bali meliputi Kabupaten Tabanan, Badung, Kota Denpasr, Buleleng, Gianyar, Klungkung, dan Bangli.
Dua Kabupaten lainnya, yakni Kabupaten Jembrana dan Karangasem diharapkan bisa menyusul dalam waktu dekat. Pendampingan di masing-masing kabupaten/kota itu menjangkau lahan pertanian yang luas bervariasi antara 20 hektare dan 50 hektare.
Yayasan Trikaya Bali memberikan bantuan bibit bermutu, pupuk organik, pembasmi hama ramah lingkungan, serta tenaga pendampingan dengan harapan mampu meningkatkan produksi padi persatuan hektare dari rata-rata 6 ton menjadi 8 ton.
Lewat bantuan satuan produksi padi dan tenaga pendampingan petani mampu meningkatkan kesejahteraan dan mengangkat harkat kehidupan petani dari kehidupan di bawah garis kemiskinan.
Beras Berwarna
Yayasan Trikaya Bali membuat proyek percontohan tanaman padi varietas unggul yang mampu menghasilkan beras berwarna, yakni beras hitam, merah, dan cokelat, yang bibitnya didatangkan dari Balai Benih Pertanian Subang, Jawa Barat.
Bibit tersebut ternyata cocok dikembangkan di alam Bali. Uji coba telah dilakukan pada petakan-petakan skala kecil di pusat pembibitan jalan by pass Ida Bagus Mantra Ketewel, Kabupaten Gianyar.
Pusat pembibitan yang menyatu dengan aneka jenis tanaman hortikultura lainnya di belakang perkantorannya berlantai tiga itu membuahkan hasil yang relatif cukup menggembirakan.
Pengembangan tanaman padi yang menitikberatkan pertanian organik itu mulai dikembangkan pada petani binaannya di tujuh dari sembilan kabupaten/kota di Pulau Dewata.
Petani binaannya diarahkan untuk mengembangkan padi jenis varietas unggul dengan sasaran produksi beras yang bermutu yang kualitas dan penampilannya berbeda dengan produksi yang dihasilkan selama ini.
Sejumlah petani binaan mulai menghasilkan padi yang berasnya berwarna hitam (bukan ketan), merah, dan cokelat. Warna beras secara alami yang dihasilkan itu harganya jauh lebih mahal daripada beras biasa.
Beras warna hitam (bukan ketan) seharga Rp35 ribu--Rp40 ribu per kilogram, beras merah Rp25 ribu--Rp35 ribu/kg, dan beras cokelat Rp23 ribu--Rp25 ribu/kg. Selain itu, masih ada beras warna kuning. Namun, masih pro dan kontra sehingga Balai Benih Pertanian Subang, Jawa Barat, belum mengeluarkan bibit tersebut.
Melalui pengembangan padi jenis unggul dengan proses produksi yang ramah lingkungan, I Gusti Ayu Putu Erawati berharap meningkatkan pendapatan dan mengangkat kesejahteraan petani yang selama ini masih relatif rendah.
Bali Hijau
I Gusti Ayu Putu Erawati yang awalnya menggeluti bidang pariwisata tertarik mengembangkan usaha sosial bidang pertanian itu menerapkan pemupukan ramah lingkungan dengan menggunakan pupuk organik.
Demikian pula, membasmi hama tanaman secara ramah lingkungan, menghindari penggunaan pestisida yang mengandung zat kimia. Hal itu sesuai dengan prinsip yayasan bekerja atas landasan asas sosial dengan mengaplikasikan prinsip dasar Trihita Karana, yakni menjaga keharmonisan yang selaras dalam setiap kegiatan untuk alam, manusia, dan Tuhan.
Selain itu, menerapkan prinsip jujur, terbuka dalam berkaya, pola pikir, perkataan dan perbuatan untuk memberikan layanan yang terbaik kepada semua pihak dalam mewujudkan masyarakat andal dan sejahtera secara berkelanjutan.
Upaya pengembangan pertanian organik itu sekaligus mendukung Bali menjadi Provinsi Bersih dan Hijau (Bali Green Province) yang telah dicanangkan. Selain itu, meningkatkan kesadaran akan perilaku bersih dan hidup sehat.
Upaya itu mulai dari membuang sampah pada tempatnya, memisahkan sampah organik dengan nonorganik, mengurangi penggunaan plastik dan melakukan pendaurulangan sampah sebagai sumber energi yang berkelanjutan.
Upaya sosialisasi itu perlu dilakukan secara terus-menerus ke masyarakat serta penyuluhan kepada anak-anak pelajar sebagai upaya mempercepat terealisasinya Bali Green Province.
Masyarakat Bali dalam sistem bercocok tanam, baik di ladang maupun sawah, memiliki pembagian waktu yang disebut Kertamasa. Pembagian waktu itu didasarkan atas perhitungkan posisi bintang, bulan, dan matahari sehingga masyarakat tani di Pulau Dewata memiliki bulan-bulan yang cocok atau tidak untuk menanam padi maupun tanaman palawija.
Kondisi demikian, hendaknya dapat dimanfaatkan untuk menyukseskan "Bali Green Province" dengan mengarahkan petani untuk memanfaatkan pupuk ramah lingkungan, yang diproduksi petani setempat, sekaligus menghindari sedini mungkin penggunaan pupuk produksi pabrik maupun obat pembasmi hama yang mengandung zat kimia.
Untuk itu, terobosan yang dilakukan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dengan menguatkan identitas Bali sebagai provinsi organik dinilai sangat tepat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.
Hal itu secara tidak langsung bertujuan melestarikan dan melindungi alam lingkungan Pulau Dewata. Pertanian organik dan industri organik merupakan upaya nyata ke arah terwujudnya Bali menjadi provinsi bersih dan hijau.
Pertanian dengan sistem organik sangat cocok dikembangkan di Pulau Dewata, selain dilandasi Bali yang relatif cukup dikenal dunia internasional, sebagai darah tujuan wisata, banyak turis, terutama dari negara-negara di kawasan Eropa datang ke Bali untuk menikmati hidup.
Dengan pertanian organik, kata I Gusti Ayu Putu Erawati, wisatawan akan mendapat relatif banyak keuntungan. Mereka bisa mendapatkan makanan, minuman, serta lingkungan yang sehat, di samping mengangkat kehidupan masyarakat setempat ke arah yang lebih baik. (WDY)
Erawati Buat Percontohan Beras Berwarna Peduli Petani
Selasa, 7 April 2015 21:40 WIB