Iring-iringan ribuan pemeluk agama Hindu berjalan kaki menempuh jarak sekitar 12 kilometer pulang pergi mewarnai prosesi ritual penyucian "pratime" (benda sakral) serangkaian ritual berskala besar "Betara Turun Kabeh" (BTK) di Pura Besakih.
Umat yang mengenakan busana adat Bali, nominasi warna putih berjalan kaki menuju tempat permandian suci (beji) Toya Sah di Banjar Susut, Desa Muncan, Kabupaten Karangasem yang berjarak sekitar 6 km selatan Pura Besakih.
Iring-iringan umat sambil mengotong puluhan "Pratime" dan sebagian lainnya menjunjung gebogan dan banten (rangkaian janur) menampuh jarak 12 km p.p. dengan jalan kaki.
Alunan instrumen musik trasisional Bali (gong) yang ditabuh bertalu-talu mengiringi kegiatan ritual penyucian (pembersihan) benda sakral, dan umat tetap bersemangat meskipun di tengah terik matahari, tutur Bendesa Adat Besakih sebagai ketua panitia kegiatan tersebut Jro Wayan Gunastra.
Kegiatan ritual berskala besar yang digelar setahun sekali bertepatan dengan Purnama Kedasa yang puncaknya jatuh pada tanggal 3 April 2015 diawali dengan Melasti yang telah dilakukan pada hari Rabu (1/4), menyusul Kamis (2/4) ritual "Mepepada", yakni penyucian binatang kurban.
Pura Agung Besakih berlokasi di lereng kaki Gunung Agung yang memiliki ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut secara administratif masuk wilayah Kabupaten Karangasem, sekitar 85 km timur laut Denpasar.
Kawasan suci di ujung Timur Bali itu terdiri atas 16 kompleks pura yang menjadi satu kesatuan tak terpisah satu sama lain, memiliki arti penting bagi kehidupan keagamaan umat Hindu, yang dianut sebagian besar masyarakat Pulau Dewata.
Di tempat suci tersebut selama lima tahun atau setelah empat kali menggelar ritual "Betara Turun Kabeh" digelar ritual utama yang disebut Panca Wali Krama dan penyucian benda sakral dilaksanakan ke Pantai Klotok, Kabupaten Klungkung.
Kegiatan ritual kali ini yang puncaknya pada Purnama Kedasa pada hari Jumat, 3 April 2015, akan berlangsung selama tiga minggu hingga 24 April mendatang.
Waktu yang relatif cukup panjang itu dengan harapan masyarakat dapat mengatur dirinya untuk melakukan persembahyangan ke Pura Besakih maupun Pura Batur di Kabupaten Bangli yang kebetulan juga menggelar kegiatan ritual berskala besar, ujar Jro Wayan Gunastra.
Panitia sengaja menyiapkan waktu yang relatif cukup panjang itu dengan harapan dapat menghindari terjadinya antrean persembahyangan di kedua tempat suci sekaligus mencegah kemacetan lalu lintas di jalur menuju kedua pura di Bali timur itu.
Pura Besakih selalu menebar kedamaian bagi rakyat Pulau Dewata. Umat Hindu Bali meyakini pura agung itulah tempat para dewa-dewi bertakhta dan turun ke mayapada (bumi) membebaskan manusia dari musibah dan bencana.
Oleh sebab itu, kesucian dan kesakralan pura terbesar dan termegah di Pulau Dewata itu senantiasa terjaga hingga sekarang.
Tempat suci yang terletak di kaki Gunung Agung itu selalu menjadi pusat kegiatan ritual umat Hindu, termasuk upacara Betara Turun Kabeh (dewata turun semua) yang digelar secara berkesinambungan pada bulan purnama kesepuluh setiap tahunnya.
Kharisma Besakih tidak hanya dikagumi umat Hindu di Bali, tetapi juga wisatawan nusantara dan mancanegara. Mereka selalu menyempatkan untuk bertandang ke Besakih jika berlibur di Pulau Dewata.
Pura Besakih yang terdiri atas beberapa kompleks bangunan suci yang menjadi satu-kesatuan tak terpisah, fondasinya konon dibangun oleh Rsi Markandeya dari India pada zaman pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (1007 Masehi).
Kedamaian dan Keselamatan
Jro Gunastra yang juga tokoh masyarakat sekitar kawasan suci itu menjelaskan bahwa kegiatan ritual BTK yang diwarisi secara turun-temurun bermakna memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa agar umat manusia dianugerahi keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan, serta terhindar dari musibah dan bencana alam.
Pura Besakih adalah tempat suci umat Hindu terbesar di Bali yang mempunyai arti penting bagi kehidupan keagamaan umat Hindu, yakni tempat beristananya para Dewa.
Pura Besakih di lereng kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali itu tercatat dalam prasasti Purana dan lontar sebagai tempat beristananya para dewa sehingga mempunyai fungsi paling penting di antara pura-pura lainnya.
Peran dan fungsi yang sangat istimewa, antara lain sebagai Pura "Rwa Bhineda", "Sad Kahyangan", "Padma Bhuana", dan pusat dari segala kegiatan upacara keagamaan.
Pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (tahun 1007), hingga pemerintahan raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan (tahun 1444 dan 1454 Masehi) sangat menghormati keberadaan Pura Besakih.
Demikian pula, Belanda yang pernah menguasai Nusantara juga menaruh perhatian besar dengan merestorasi secara besar-besaran terhadap beberapa kompleks bangunan suci yang rusak akibat bencana alam.
Setelah merdeka, pemerintah Indonesia juga melakukan perbaikan terhadap beberapa bangunan fisik yang rusak sekaligus mengintensifkan pelaksanaan ritual keagamaan.
Pemerintah Provinsi Bali sejak 1967 menyerahkan pengawasan dan pemeliharaan Pura Besakih kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu yang kemudian dimandatkan kepada "Prawartaka" Pura Besakih.
Hingga sekarang, Pemerintah Provinsi Bali bersama delapan pemerintah kabupaten dan satu perintah kota di samping swadaya umat secara bergotong royong mengalokasikan dana untuk memperbaiki bangunan yang rusak maupun mendukung pelaksanaan ritual keagamaan.
Kawasan suci Pura Besakih yang berada di wilayah Kabupaten Karangasem itu sehari-harinya adalah objek wisata yang relatif banyak dikunjungi pelancong. Namun, mereka dilarang memasuki tempat-tempat yang khusus untuk persembahyangan umat.
Rakyat Bali sangat menjaga kesucian Besakih karena mereka berharap Tuhan tetap melindungi dan menebar damai di Bumi Dewata.
Pada ritual Betara Turun Kabeh kali ini, umat memohon kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Bali terbebas dari musibah dan bencana sekaligus dianugerahi kesejahteraan dan kedamaian. (WDY)