Nunukan, Kaltara (Antara Bali) - Satgas Pamtas Yonif Linud 433/Julu
Siri menegaskan, penetapan tapal batas antara RI-Malaysia di Kabupaten
Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara), didasarkan pada dokumen resmi
negara.
Komandan Satgas Pamtas Yonif Linud 433/Julu Siri, Letkol Inf Agustatius Sitepu di Nunukan, Selasa menyatakan, mengenai keberadaan pos pemantau milik Malaysia yang menjadi polemik atas pemberitaan media massa akhir-akhir ini telah dikoordinasikan dengan bidang topografi Kodam VI Mulawarman.
"Jadi sudah dikoordinasikan dengan bidang topografi Kodam VI Mulawarman soal lokasi pembangunan pos pemantau milik Malaysia di Pulau Kayu Mati itu dan disebutkan tidak termasuk wilayah Indonesia," jelas Agustatius Sitepu kepada wartawan.
Ia mengatakan, tidak tahu dasar hukum yang digunakan tokoh masyarakat Kabupaten Nunukan bahwa lokasi pembangunan pos pemantau Malaysia itu masih termasuk wilayah perairan Indonesia.
Sebab, kata dia, acuan dari TNI terkait tapal batas dengan Malaysia adalah dokumen negara yang telah menjadi kesepakatan bersama di antaranya perjanjian Inggris dengan Belanda pada 1915. Inggris merupakan penjajah Malaysia dan Belanda menjajah Indonesia saat itu.
Menurut Dansatgas Pamtas Yonif Linud 433/Julu Siri, acuan dari tapal batas Indonesia-Malaysia ditarik dari Pulau Sebatik pada empat derajat 10 menit menuju Pos Pamtas Sei Kaca.
"Jika ada pihak-pihak yang menyebutkan lokasi pembangunan pos pemantau Malaysia itu berada di wilayah Indonesia, saya tidak tahu dasar hukumnya. Tetapi acuan kita (TNI) adalah soal perjanjian Inggris dengan Belanda pada 1915 yang dijadikan dokumen negara yang resmi," kata dia.
Agustatius Sitepu juga menegaskan, masalah tapal batas antara RI dengan Malaysia di Kabupaten Nunukan tidak ditarik dengan garis lurus sebagaimana yang ditindaklanjuti dengan "memorandum of understanding" (MoU) pada 1973.
Hanya saja, lanjut dia, yang menjadi perhatian pemerintah RI adalah agar tidak melakukan penimbunan karena akan mempengaruhi postur alam yang dapat mengubah kondisi alam di lokasi pembangunan pos pemantau negara tetangga itu.
Mengenai keterangan tokoh masyarakat setempat yang mengaku pernah menemukan patok perbatasan di tengah daratan Pulau Kayu Mati, Agustatius Sitepu mengaku tidak memiliki kewenangan untuk mengomentarinya karena belum menyaksikannya. (WDY)
Komandan Satgas Pamtas Yonif Linud 433/Julu Siri, Letkol Inf Agustatius Sitepu di Nunukan, Selasa menyatakan, mengenai keberadaan pos pemantau milik Malaysia yang menjadi polemik atas pemberitaan media massa akhir-akhir ini telah dikoordinasikan dengan bidang topografi Kodam VI Mulawarman.
"Jadi sudah dikoordinasikan dengan bidang topografi Kodam VI Mulawarman soal lokasi pembangunan pos pemantau milik Malaysia di Pulau Kayu Mati itu dan disebutkan tidak termasuk wilayah Indonesia," jelas Agustatius Sitepu kepada wartawan.
Ia mengatakan, tidak tahu dasar hukum yang digunakan tokoh masyarakat Kabupaten Nunukan bahwa lokasi pembangunan pos pemantau Malaysia itu masih termasuk wilayah perairan Indonesia.
Sebab, kata dia, acuan dari TNI terkait tapal batas dengan Malaysia adalah dokumen negara yang telah menjadi kesepakatan bersama di antaranya perjanjian Inggris dengan Belanda pada 1915. Inggris merupakan penjajah Malaysia dan Belanda menjajah Indonesia saat itu.
Menurut Dansatgas Pamtas Yonif Linud 433/Julu Siri, acuan dari tapal batas Indonesia-Malaysia ditarik dari Pulau Sebatik pada empat derajat 10 menit menuju Pos Pamtas Sei Kaca.
"Jika ada pihak-pihak yang menyebutkan lokasi pembangunan pos pemantau Malaysia itu berada di wilayah Indonesia, saya tidak tahu dasar hukumnya. Tetapi acuan kita (TNI) adalah soal perjanjian Inggris dengan Belanda pada 1915 yang dijadikan dokumen negara yang resmi," kata dia.
Agustatius Sitepu juga menegaskan, masalah tapal batas antara RI dengan Malaysia di Kabupaten Nunukan tidak ditarik dengan garis lurus sebagaimana yang ditindaklanjuti dengan "memorandum of understanding" (MoU) pada 1973.
Hanya saja, lanjut dia, yang menjadi perhatian pemerintah RI adalah agar tidak melakukan penimbunan karena akan mempengaruhi postur alam yang dapat mengubah kondisi alam di lokasi pembangunan pos pemantau negara tetangga itu.
Mengenai keterangan tokoh masyarakat setempat yang mengaku pernah menemukan patok perbatasan di tengah daratan Pulau Kayu Mati, Agustatius Sitepu mengaku tidak memiliki kewenangan untuk mengomentarinya karena belum menyaksikannya. (WDY)