Jakarta (Antara Bali) - Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Yose Rizal Damuri menilai Daftar Negatif Investasi (DNI) yang diterbitkan pemerintah pada 2014 akan menjadi kendala sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) karena adanya perketatan investasi asing.
"Secara prosedur memang dipermudah dengan PTSP melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tapi secara regulasi malah lebih sulit," ujarnya di Jakarta, Rabu.
DNI 2014, kata dia, sifatnya jauh lebih membatasi investasi asing, jika dibandingkan dengan DNI sebelumnya yang diterbitkan pada 2010.
Yose mengatakan dalam DNI 2014 terdapat beberapa kelompok bidang usaha yang kepemilikan modal asingnya dibatasi, salah satunya adalah bidang usaha pengeboran lepas pantai yang kepemilikan modal asingnya berkurang dari 95 persen menjadi 75 persen.
"Padahal sejak awal 2000 hingga 2012 pertumbuhan ekonomi kita banyak didukung oleh ekspor bahan mentah seperti batu bara dan CPO," ujarnya.
Ia meminta pemerintah membenahi dikotomi prosedur dan regulasi investasi sebelum PTSP benar-benar dijalankan.
Sebelumnya Kepala Deputi Promosi Investasi BKPM Himawan Hariyoga mengatakan bahwa Presiden akan meresmikan sistem PTSP pada 26 Januari 2015. Dengan sistem tersebut diharapkan perizinan akan menjadi lebih cepat, mudah, murah dan terintegrasi di dalam jaringan.
Ia mengatakan akan ada 21 kementerian dan insititusi yang terintegrasi dengan pelayanan tersebut diantaranya PLN, BPOM, Badan Standarisasi Nasional, Kementerian Pariwisata, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan dan lainnya.
"Dengan sistem ini diharapkan dapat mempermudah investor untuk mendapatkan izin, cukup membawa aplikasi ke BKPM dan data akan langsung terintegrasi ke seluruh kementerian," katanya.
Sistem PTSP ini dianggap akan mempercepat proses investasi karena investor tidak perlu mendatangi setiap K/L yang berkaitan dengan usahanya, dan akan lebih transparan karena dapat diawasi langsung oleh kementerian yang bersangkutan bahkan Presiden.
"Uji coba sudah dilakukan sejak Desember 2014 di lima provinsi, dan pada 26 Januari ini akan diresmikan oleh Presiden sehingga sejak Februari-Desember 2015 sudah dapat digunakan di 24 provinsi dan 120 kabupaten," katanya.
Rencananya pada 2016 sistem ini dapat digunakan di 34 provinsi dan 561 kabupaten di seluruh Indonesia. (WDY)