Denpasar (Antara Bali) - Pengamat dan pelaku seni budaya Bali, Kadek Suartaya, SS Kar, MSi menilai, gong kebyar diwarisi masyarakat Bali yang kini telah mendunia bentuk fisik awalnya adalah milik banjar atau desa.
"Bentuk fisik sejak kelahirannya 100 tahun silam umumnya dengan tungguh instrumen yang masih bersahaja yang sering disebut lelengisan atau tanpa hiasan ukiran dan warna prada," kata Kadek Suartaya yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan, perkembangan gong kebyar tersebut hingga dimulainya lomba gong kebyar atau Utsawa Merdangga pada tahun 1968, utusan masing-masing kabupaten di Bali masih tampil dengan fisik gamelan yang sederhana.
Kendati dalam bentuk fisik yang sederhana, gong kebyar yang dibeli dengan susah payah oleh warga desa atau banjar pemiliknya, dipelihara dengan telaten.
"Tidak sembarang warga, terutama anak-anak, dibolehkan memainkan gamelan. Sebab untuk dapat mengikuti trend gong kebyar yang merebak di Bali sejak tahun 1950-an itu memerlukan biaya dan pengorbanan yang besar pada situasi krisis ekonomi yang sedang terpuruk," ujar Kadek Suartaya.
Selain biaya uang, masyarakat yang ingin memiliki gong kebyar juga berkorban perasaan yang harus melebur gamelan yang telah dimiliki seperti semarapagulingan atau palegongan agar dapat berkebyaria.
Suartaya menambahkan namun begitu kuatnya pesona gong kebyar memaksa masyarakat desa atau banjar di Pulau Dewata mengikhlaskan gamelan warisan leluhurnya dirubah menjadi gong kebyar.
Ansambel gong kebyar sangat berpengaruh kepada gamelan lainnya. Pengaruh fiskal dari perkembangan kebyar itu dibarengi dengan pengaruh estetik musikal.
Estetika ngebyar menjalar pada ekspresi musikal sejumlah gamelan Bali yang lainnya. Ngebyar, secara teknis musikal dalam seni tabuh didefinisikan sebagai sesuatu ungkapan secara serentak, keras, cepat, ramai, riuh, lincah, aksentuatif dan sarat kejutan, ujar Kadek Suartaya. (WDY)