Jakarta (Antara Bali) - Jumat siang, beberapa epigraf membaca dan menyalin aksara kuno yang terukir pada batu-batu dari masa lalu, berusaha mengurai pesan-pesan dari zaman lampau yang tertinggal di prasasti.
Andriyati Rahayu sedang menyelesaikan pekerjaannya, menyalin 21 baris aksara Jawa Kuno yang terukir pada Prasasti Kayu Arahiwang dari Desa Boro Tengah, Purworejo, yang ada di ruang koleksi Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Dia sudah memulai pekerjaan itu dua hari lalu. "Kemarin saya sudah sampai baris ke-18," katanya sambil menghitung baris-baris tulisan Jawa Kuno yang melingkari prasasti batu berangka tahun 823 Saka/901 AD itu.
"Nah...sampai sini nii...," kata Andriyati, lalu duduk bersimpuh, mendekatkan wajahnya ke prasasti untuk mengenali ukiran bentuk-bentuk aksara yang melingkari batu berwarna kecoklatan, kadang sambil meraba guratannya.
Ia lantas mulai menyalin huruf-huruf yang bentuknya terlihat seperti paduan garis tegak, datar dan lengkung itu ke dalam buku bergaris sambil membaca, "mas..ma..ju..ju..."
Prasasti itu bercerita tentang Rakai Wanua Poh Dyah Sala yang telah meresmikan wanua atau desa Kayu Ara Hiwang menjadi sima, wilayah yang dibebaskan dari pajak karena uang pajaknya dialihkan untuk pembangunan tempat ibadah, jembatan, bendungan, atau tempat umum lain.
Andriyanti mengatakan, pada prasasti itu juga tertulis nama-nama pejabat kerajaan yang diundang ke upacara penetapan sima dan pasek atau persembahan yang diberikan kepada mereka.
"Termasuk di antaranya uang emas, yang dalam prasasti ditulis satuannya yaitu ma, dan wdihan, yaitu kain," kata pengajar Departemen Arkeologi Universitas Indonesia itu.
Andriyati adalah satu dari lima epigraf --pembaca prasasti-- yang sedang bekerja menyalin dan membaca 30 prasasti koleksi Museum Nasional Indonesia.
Pipit Meilinda (21) membantu dia menyalin aksara Jawa Kuno pada beberapa prasasti.
Siang itu, Pipit menyalin tulisan pada Prasasti Tri Tpusan dari Candi Petung, Magelang, yang dibuat tahun 842 Masehi dan Prasasti Wayuku dari Dieng, Wonosobo, yang berangka tahun 779 Saka/857 AD.
Pipit, yang baru lulus dari Departemen Arkeologi Universitas Indonesia, memulai pekerjaan dengan mengamati bentuk guratan pada prasasti, melihatnya dari jarak sangat dekat, kadang sambil meraba.
Sesekali dia berjalan mundur satu atau dua langkah, lalu memandang guratan-guratan itu sambil berdiri dengan menelengkan kepala, berusaha memastikan bentuk aksara yang tertulis pada batu tua.
"Yang sudah sulit terbaca seperti ini, kasih tanda strip. Biasanya prasasti sudah ada formula isinya, jadi nanti bisa dilihat kira-kira apa yang biasa ada di bagian ini dan dicocokkan dengan hasil epigraf yang lain," katanya. (WDY)