Timika (Antara Bali) - PT Freeport Indonesia menyatakan keberatan membayar tagihan Pajak Air Permukaan (PAP) dan komponen pajak pertambangan lainnya ke Pemprov Papua senilai Rp2,7 triliun sejak 2009--2014.
Kepala Unit Penerimaan Pendapatan Daerah (UPPD) Samsat Timika, Snell Elisabeth, kepada ANTARA di Timika, Selasa, mengatakan keberatan untuk membayar tagihan PAP senilai Rp2,7 triliun itu tertuang dalam surat balasan manajemen PT Freeport ke Gubernur Papua, Lukas Enembe, belum lama ini.
Pihak Freeport beralasan bahwa pembayaran tagihan PAP dan komponen pajak Pemprov Papua lainnya mengacu pada nota kesepahaman yang ditandatangani Pelaksana Tugas Gubernur Papua Constan Karma tahun 2011 dan Peraturan Gubernur Papua tahun 2011.
Mengacu pada dua aturan itu, Freeport hanya bersedia membayar PAP sebesar 150.000 dollar AS atau jika dikonversikan ke dalam mata uang rupiah senilai Rp1,5 miliar per tahun.
"Sudah ada surat tanggapan dari manajemen PT Freeport atas surat Gubernur Papua. Freeport menyatakan siap membayar tetapi sesuai ketentuan yang diatur dalam MoU 2011 dan Peraturan Gubernur Papua. Padahal MoU dan Peraturan Gubernur itu sudah tidak berlaku lagi saat ini," kata Elisabeth.
Ia menegaskan, saat ini Pemprov Papua masih mempelajari surat dari manajemen PT Freeport dan akan memberikan surat tanggapan dalam waktu secepatnya.
Pada prinsipnya, demikian Elisabeth, Pemprov Papua tetap ngotot untuk memaksa Freeport membayar lunas tagihan senilai Rp2,7 triliun untuk menunjang peningkatan penerimaan pendapatan asli daerah Provinsi Papua.
"Freeport harus bayar lunas tunggakan PAP dan pajak Distamben Provinsi Papua senilai Rp2,7 triliun itu. Kita tetap kejar itu dan dia harus bayar apapun alasannya karena itu merupakan PAD Pemprov Papua," tegas Elisabeth.
Menurut dia, Pemprov Papua memiliki dasar hukum untuk menetapkan PAP dan pajak pertambangan yang harus dibayar Freeport senilai Rp2,7 triliun yaitu mengacu pada UU Nomor 28 tahun 2009 dan Perda Provinsi Papua Nomor 11 tahun 2009.
Di sisi lain, katanya, MoU yang pernah ditandatangani Plt Gubernur Papua Constan Karma dengan manajemen PT Freeport tahun 2011 dianggap sebagai temuan yang dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa waktu lalu.
"BPK sudah menyatakan bahwa MoU itu sebagai temuan sehingga tidak bisa digunakan sebagai acuan bagi pemerintah. Freeport tidak boleh seenaknya menggunakan MoU itu sebagai acuan. Dia harus membayar kewajibannya. Kalau tidak, maka pasti akan ada sanksi tegas untuk mereka," tutur Elisabeth.
Ia menambahkan, perhitungan untuk menentukan besaran Pajak Air Permukaan (PAP) yang dibayar PT Freeport kepada Pemprov Papua mengacu pada hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Pemprov Papua bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) beberapa tahun lalu.
Dari hasil survei yang dilakukan, ditemui kenyataan bahwa untuk menunjang aktivitas pertambangannya, PT Freeport Indonesia memanfaatkan sumber daya air dari lima sungai besar di Kabupaten Mimika.
Berdasarkan hasil survei dimaksud dan dikuatkan dengan UU Nomor 28 tahun 2009 dan Perda Provinsi Papua Nomor 11 tahun 2009 maka setiap tahun PT Freeport harus membayar Pajak Air Permukaan (PAP) ke Pemprov Papua sebesar Rp17 miliar. (WDY)