Bali tiada hari tanpa kegiatan ritual dan alunan suara gamelan dan gerak lincah orang menari. Alunan musik tradisional itu ibarat denyut nadi Pulau Dewata.
Kesenian tradisional Bali eksistensinya sangat ajeg (kokoh) menyebabkan setiap harinya selalu asyik dengan suasana ketentraman, keagamaan serta kondisi ini sangat mendukung ciri khas Bali sebagai daerah wisata seni budaya.
Warna khas Pulau Bali adalah keindahan dan kesenian yang tumbuh dari "rasa bhakti" (iklas) masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dari rasa "kompromi" dengan lingkungan alam, lingkungan spiritual serta lingkungan sosial.
Terinspirasi Tarian Siwa ketika menciptakan alam semesta, para seniman meniru gerak isi alam. Baik seni tari, seni bangunan, seni lukis, dan seni sastra yang semuanya mempersembahankan yang terindah, karena seni Bali perwujudkan etika "Tri Hita Karana" yang berkepribadian dan bermartabat, tutur Pendiri dan Pengelola Museum Arma di perkampungan seniman Ubud Anak Agung Gede Rai.
Pria kelahiran Desa Peliatan, Ubud 60 tahun yang silam menjelaskan, pencapaian reputasi artistik karya tidak mungkin lepas dari mata rantai sejarah yang melingkupi. Dalam sejarah Bali, kesenian mengalami masa keemasan di bawah dinasti Warmadewa.
Krida seni dipandang sederajat dengan "undagi", " pujangga" dan profesi seni lainnya. Diantara prasasti-prasasti yang dikeluarkan Raja Anak wungsu terdapat prasasti yang memuat goresan bermotif "Batara Siwa" yang menunjukkan bahwa, keakhlian seni lukis hadir di masa itu.
Selain itu juga dalam prasasti Batuan abad ke-10 yang menyebut "Citrakara" sebagai Paguyuban seni lukis dan Amahat untuk sebutan komunitas seni pahat sesuai dengan garis profesi yang istimewa.
Agung Rai yang museumnya memiliki koleksi 248 Lukisan itu menjelaskan, pada abad ke-11, realisasi nilai-nilai "Tri Hita Karana" yakni menjaga keharmonisan antarsesama manusia, alam dan Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Esa semakin mantap.
Hal itu didukung dengan adanya konsep Desa Pakraman (adat) yang lengkap dengan unsur-unsurnya membangun rasa persatuan di antara berbagai aliran kepercayaan sekte di bawah bimbingan Mpu Kuturan.
Otoritas kesenian mampu sebagai penerjemah, media komunikasi sastragama yang sakral menjadi bahasa gambar yang maha penting yang dimiliki Citrakara Bali mendapat porsi bermartabat.
Pada zaman Waturenggong, Gelgel, tahun 1470-1550 Masehi, Dang Hyang Dwijendra sebagai purohita harta kerohanian, kesustraan, dan konsepsi pengetahuan tata pemerintahan, arsitektur semakin kokoh dan mulia dalam meningkatkan keimanan masyarakat Bali.
Seiring perkembangannya, kesenian Bali Klasik berkembang hampir di wilayah Bali. Di wilayah Bali Age, Karangasem, tepatnya di desa Julah juga berkembang seni lukis wayang.
Selanjutnya di masa pemerintahan raja-raja Sukawati terjadi perpindahan seniman sehingga wilayah Sukawati, Kabupaten Gianyar ditandai dengan adanya kelompok "artisan" seperti kerajinan perak di Celuk, seni pedalangan di Sukawati, seni sastra di Batuan.
Bergerak Dinamis
Agung Rai yang kembali meluncurkan buku dalam bahasa Inggris bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-18 museum museumnya tersebut pertengahan Juni lalu menambahkan, seni Bali bergerak dinamis dalam masa, informasi, dan ruang gerak yang semakin terbuka lebar secara nasional dan global.
Di tengah menguatnya citra dan fakta tentang dinamika dewasa ini, maka kehidupan seni dihadapan pada dua sisi yakni pertama sisi kedalam dimana seni memiliki keterikatan terhadap pura pemujaan leluhur dan Tuhan, terhadap desa pakraman, kepentingan lembaga tradisional yang mesti dirawat dengan baik.
Sementara di sisi lain merebaknya proses interaksi fisik, sosial, dengan desakan "kebenaran baru" yang menawarkan peluang dan tantangan. Jika situasi itu dimainkan dengan benar maka akan membawa hikmah positif.
sebaliknya jika salah urus maka pergeseran nilai bahkan eliminasi terhadap lingkungan spiritual, lingkungan alam dan sosial seni tak terelakan. Oleh sebab itu menjadi penting untuk dipahami, bahwa "interaksi budaya" di Bali adalah sebuah proses berkelanjutan malah sepertinya melekat dengan perkembangan sejarahnya.
Bukti warisan masa lalu sekaligus sebagai pengenalan sumber inspirasi seni budaya dengan kandungan harta kerohanian yang senantiasa hidup, tersebar di tebing sungai Petanu dan Pakerisan di Bedulu, Pejeng, Kabupaten Gianyar hingga kini masih dikeramatkan penduduk setempat.
Sarkopogus Bali merupakan hasil seni pahat yang tertua, cikal bakal seni pahat Bali. Kedok muka dengan wajah yang memperlihatkan mata melotot, telinga lebar, mulut terbuka dengan lidah menjulur keluar atau dengan gigi mencuat.
Kedok muka adalah lambang nenek moyang atau pemimpin yang mempunyai kekuasan magis yang besar, yang dapat menjadi pelindung bagi kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup dan yang memberikan kesuburan atau kesejahteraan bagi masyarakat.
Dengan demikian karya seni pahat pada sarkopogus, berfungsi estetik-dekoratif, juga simbolis magis. Sumber pengenalan dan perkembangan awal kriya topeng klasik Bali yang mengukuhkan ciri magis. Karya Cokot sang maestro patung primitif mengingatkan kesan kedok animisme yang telah berumur ribuan tahun.
Zaman prasejarah sebelum pengaruh agama Siwa-Budha, nenek moyang masyarakat Bali telah mengenal sistem pemujaan leluhur dan kepercayaan animisme kepercayaan terhadap Gunung dipandang sebagai tempat roh nenek moyang yang telah suci.
Sistem penguburan mempergunakan sarkopogus dan setiap orang yang meninggal dikubur dengan kepala menuju gunung (ulu), serta kakinya mengarah ke laut (teben). Kepercayaan adanya alam sekala niskala itu menunjukkan nenek moyang dapat memberikan perlindungan, petunjuk dan tuntunan kerohanian terhadap generasi penerus, tutur Agung Rai. (WDY)