Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB) lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia menggelar diskusi menyangkut perkembangan imaji atas citraan molek Pulau Bali yang disampaikan lewat karya-karya fotografi.
"Diskusi itu digelar Minggu (11/5) serangkaian pameran perupa Nyoman Erawan yang menyuguhkan pameran kolaborasi sekitar 320 foto dokumentasi, 23 foto seni (art), karya instalasi dan video mapping," kata Kurator Pameran tersebut Wayan Seriyoga Parta MSn di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, diskusi diisi dengan pemutaran film kilas balik tentang Bali masa lalu sehingga kehadiran fotografi memiliki dimensi sejarah panjang dalam kebudayaan Pulau Dewata.
"Melalui media-media representasi seperti foto, postcard, film dan bahkan lukisan oleh seniman Barat itulah citra tentang identitas dan tradisi budaya Bali diproduksi terus menerus," ujar I Wayan Seriyoga Parta.
Selain itu juga disuguhkan rekam fotografi atas Bali di masa lampau. Kajian itu akan mencoba membedah persoalan representasi Bali berdasarkan kaca mata Barat dalam imaji media-media seperti fotografi, film dan lukisan.
Seriyoga kandidat doktor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menambahkan, sejak awal abad ke-20, akibat pengaruh kebijakan Baliseering Pemerintah Belanda yang bertujuan menjadikan Bali sebagai "museum hidup", terjadi citraan atas keelokan alam, kemolekan penduduk.
Demikian pula keluhuran seni budaya Bali ditampilkan dalam beragam medium, termasuk di antaranya karya foto dari seniman, maupun peneliti asing, semisal Gregor Krause, Covarubias, Walter Spies, J. Kersten, Nikola Drakulic dan Gregory Bateson.
Gambar tersebut seputar tematik yang eksotik, seperti para perempuan telanjang dada memakai kamen (kemben) atau busana penari, yang kemudian membanjiri dunia Barat tentang imaji-imaji tentang Bali dengan segala keunikannya.
"Semua imaji-imaji itu tidak lain menggambarkan pulau sorga dengan kebudayaan yang murni, sebuah dunia mimpi yang bertolak belakang dengan Barat (Eropa) yang tengah dilanda bencana kemanusiaan akibat perang yang berkepanjangan," ujar Seriyoga.
Kini manusia Bali dengan latar sosial dan kulturnya adalah objek dari fotografi, objek yang tak punya kuasa pada representasi yang menghadirkan mereka. Telah terbukti, fotografi dan film sebagai media yang ampuh dalam mengenalkan kebudayaan Bali di dunia internasional, hingga namanya mencuat ke permukaan hingga sekarang.
Foto sebagai tanda simbolik telah "mencabut" kebudayaan Bali dari konsep perkembangan waktu, dan seolah mengekalkannya dalam ruang dan waktu lampau yang eksotik penuh dengan citraan akan keharmonian.
Masyarakat Bali mewarisi hal itu hingga sekarang sekaligus telah menjelma menjadi sebuah pulau metropolit daerah urban, akibat kemajuan perekonomian dari perkembangan industri pariwisata budaya.
"Imaji simbolik fotografi telah menjadikan Bali berada dalam dua dunia, hidup dalam realitas kekinian dan bayang-bayang citra masa lalunya," tutur Seriyoga.
Oleh sebab itu bagaimanakah menyikapi warisan kenyataan tersebut, sementara Bali dan masyarakatnya telah menjelma sebuah pulau metropolitan akibat kemajuan perekonomian dan perkembangan industri pariwisata.
Oleh sebab itu acara Bali Tempo Doeloe kali ini akan coba mengkritisi hal-hal tersebut sambil memperbincangkan sejauh mana masyarakat Bali menjadi subjek untuk kebudayaannya sendiri, ujar Seriyoga. (WDY)
BBB Diskusi Perkembangan Imaji Atas Citraan Bali
Sabtu, 10 Mei 2014 9:47 WIB