Jakarta (Antara Bali) - Menteri Agama Suryadharma Ali memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dimintai keterangan dalam penyelidikan dugaan korupsi penyelenggaraan haji.
"Saya belum tahu, jadi apa yang dipermasalahkan belum tahu, saya datang diminta memberikan keterangan, jadi nanti deh ya setelah ini," kata Suryadharma saat datang ke gedung KPK Jakarta, Selasa.
Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ada tiga fokus penanganan KPK terkait perkara haji tersebut yaitu pertama berkaitan dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), kedua akomodasi pengadaan dan ketiga orang-orang yang mendapat fasilitas-fasilitas untuk pergi haji.
"Kalau penetapannya (dana haji) lewat DPR, jadi berapapun yang kita keluarkan itu lewat DPR," tambah Suryadharma.
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu pun mengatakan bahwa audit dana haji selalu dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
"Kalau audit itu kan selalu, audit itu dilakukan oleh BPK, kemudian disampaikan ke DPR. Audit 2012 sudah pasti ada. Kalau 2013 bulan apa ya? Mei, saya kira sudah pasti ada," tambah Suryadharma.
Namun ia mengaku lupa berapa anggaran dana haji yang diajukan ke DPR.
Suryadharma pun membantah adanya anggaran untuk membiayai haji keluarga pejabat Kemenag.
"Tidak ada, keluarga dari mana?" tambah Suryadharma.
Hingga saat ini KPK juga telah meminta keterangan anggota DPR dalam penyelidikan tersebut yaitu mantan Wakil Ketua Komisi VIII fraksi Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini dan anggota Komisi VIII fraksi Partai Persatuan Pembangunan Hasrul Azwar.
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sudah sejak awal 2013 menyerahkan laporan hasil analisis (LHA) tentang penyelenggaraan ibadah haji.
PPATK mengindikasikan terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Kementerian Agama (Kemenag) sebesar Rp80 triliun dengan bunga sekitar Rp2,3 triliun sepanjang 2004-2012.
KPK juga telah mengirimkan tim ke Madinah dan Makkah untuk melakukan pengecekan langsung untuk katering dan akomodasi dalam ibadah haji.
PPATK menjelaskan bahwa dana Rp80 triliun dalam penyelenggaraan ibadah haji ditempatkan pada bank tanpa ada standarisasi penempatan yang jelas.
Terdapat ketidakjelasan standarisasi penempatan dana haji, ditambah pembelian valuta asing untuk catering maupun akomodasi yang dinilai oleh PPATK belum jelas dan penggunakan dana untuk operasional kantor yang seharusnya masuk dalam pos APBN tapi dimasukkan ke dalam BPIH. (WDY)