Denpasar (Antara Bali) - Gubernur Bali Made Mangku Pastika berpandangan faktor budaya dan kemiskinan berpengaruh besar terhadap angka putus sekolah di daerahnya karena menyebabkan para orang tua enggan untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi.
"Hal itu karena anak dilihat sebagai alat produksi sehingga ketika anak mulai bisa bekerja, seperti tamat SD, mereka sudah mulai diminta membantu orang tua untuk mencari air, memelihara ternak, berkebun sehingga anak-anak SD tidak melanjutkan sekolah lagi," katanya di sela-sela menjadi Inspektur Upacara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional di Denpasar, Jumat.
Menurut dia, karena anak dianggap sebagai alat produksi, menjadikan para orang tua enggan menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Pemikiran mereka karena nanti ketika anaknya sudah menempuh pendidikan tinggi juga tidak akan menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
"Jadi secara psikologis sudah cukup tamat SD, lengannya kuat, dan bisa bekerja. Hal seperti ini harus dicegah dan pendidikan harus lebih baik lagi," ujarnya.
Potensi kerawanan pendidikan seperti itu, lanjut Pastika, umumnya terjadi pada daerah-daerah miskin yang letaknya di pedalaman seperti di Kintamani (Kabupaten Bangli), Nusa Penida (Kabupaten Klungkung), dan beberapa daerah di Kabupaten Buleleng, serta Kabupaten Karangasem.
"Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota berusaha sekuat tenaga mendorong para orang tua itu untuk menyekolahkan anaknya dengan berbagai program seperti beasiswa, sekolah berasrama, dan sebagainya. Yang paling penting itu keterjangkauan, kalau kualiatas saya kira di Bali relatif baik," ucap Pastika.
Pihaknya mengharapkan dengan berbagai program pendidikan yang ada itu, para siswa dapat melanjutkan pendidikan, minimal Wajib Belajar Sembilan Tahun. Meskipun Pemprov Bali menargetkan dapat tercapai Wajib Belajar 12 Tahun.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi Bali Tjokorda Istri Agung Kusuma Wardhani mengatakan siswa putus sekolah terjadi di sembilan kabupaten/kota di Bali.
Pada tahun pelajaran 2012/2013, jumlah siswa putus sekolah di Bali mencapai 1.186 orang. Dari jumlah tersebut, yang terbanyak di Kabupaten Buleleng yakni 411 siswa. Sedangkan pada tahun pelajaran 2013-2014, jumlah siswa putus sekolah sedikit meningkat menjadi 1.198 orang, namun terjadi pergeseran jumlah siswa putus sekolah tertinggi terjadi di Kabupaten Karangasem yakni 466 orang.
Wardhani mengemukakan bahwa Pemprov Bali telah melakukan berbagai terobosan untuk membantu para siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu supaya tidak putus sekolah diantaranya dengan memberikan dana pendampingan BOS dan beasiswa miskin dari SD-SMA/SMK, beasiswa penuh melanjutkan pendidikan di berbagai SMK seluruh Bali, dan beasiswa penuh serta mengasramakan siswa berprestasi dan kurang mampu di SMAN Bali Mandara dengan setiap siswa dialokasikan Rp32 juta/tahun.
Ada juga beasiswa penuh bagi siswa miskin berprestasi untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar hingga tamat untuk 10 orang. (WDY)