Denpasar (Antara Bali) - Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta mengusulkan pengawasan perlu diintensifkan untuk mencegah semakin maraknya alih fungsi lahan pertanian di Pulau Dewata.
"Sejauh ini, peraturan daerah yang mengatur hal itu seperti Perda No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali kurang tegas mengatur sanksinya sehingga masih harus dibenahi. Jangan sampai sanksinya ngambang. Namun, di sisi lain pengawasan pemanfaatan lahan pertanian masih harus diintensifkan," katanya di sela-sela menerima kunjungan rombongan Komisi IV DPR-RI, di Denpasar, Selasa.
Menurut dia, penyebab alih fungsi lahan tidak bisa dilepaskan karena kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang mendesak sehingga sudah seharusnya pemerintah dapat lebih memperhatikan sektor pertanian.
"Maka harus dibantu, misalnya dari sisi infrastruktur seperti perbaikan saluran irigasi dan jalan setapak. Di samping dengan membantu bibit dan peralatan agar petani dapat meningkatkan produksi dan mengefisienkan biaya produksi," ujar Sudikerta sembari menyebutkan pemprov setempat juga telah memfasilitasi program sistem pertanian terintegrasi (Simantri) yang hingga 2014 ditargetkan terdapat 504 unit.
Rata-rata alih fungsi lahan pertanian di Bali setiap tahunnya sekitar 300 hektare atau berkisar 0,55 persen dari total luasan lahan pertanian.
Sudikerta menambahkan, rata-rata produksi gabah kering giling per tahun di Bali mencapai 510 ribu ton dan jumlah tersebut sudah mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Bali. Namun, memang masih ada beberapa kendala dari sisi pengolahan dan produksi.
"Ada banyak saluran irigasi yang masih terganggu, demikian juga sulitnya pengangkutan hasil produksi pada beberapa sawah yang lokasinya di tengah-tengah. Sementara itu kontribusi sektor pertanian sendiri terhadap PDRB (produk domestik regional bruto) Bali baru berkisar 17 persen per tahun, harapan kami dapat meningkat menjadi 25 persen," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo mengatakan seringkali terjadi kongkalikong antara pihak agraria, notaris dan pemerintah daerah yang memuluskan terjadinya jual beli lahan pertanian basah.
"Padahal lahan basah sesungguhnya tidak boleh diperjualbelikan pada penduduk di luar wilayah. Oleh karena adanya kongkalikong itu, seringkali lahan basah dikonservasikan menjadi lahan kering," kata politisi dari Partai Golkar itu.
Secara nasional, ucap Firman, alih fungsi lahan pertanian pada 2012 mencapai 100 ribu hektare per tahun, dan pada 2013 meningkat menjadi 120 ribu hektare. Selain itu, tingkat kesuburan lahan juga rata-rata di titik kritis yakni di bawah lima persen. Bahkan beberapa daerah di Pulau Jawa dan Aceh hanya 2-3 persen. (WDY)
Intensifkan Pengawasan Cegah Alih Fungsi Lahan
Selasa, 29 April 2014 15:38 WIB