Denpasar (Antara Bali) - Pengamat masalah pertanian di Bali, Dr. I Gede Sedana menilai, badan usaha di tingkat pusat dan daerah sangat memungkinkan membeli hasil pertanian, namun hingga kini hanya wacana, tidak pernah terealisasi.
"Penampungan hasil pertanian itu mampu memberikan kepastian kepada petani, membantu dalam bidang pemasaran, karena selama ini petani selalu dalam posisi lemah, dalam memasarkan produksi," kata Gede Sedana yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra di Denpasar, Jumat.
Ia mengatakan, harga gabah di tingkat petani menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak didasarkan atas kondisi riil di lapangan, karena harga yang ditetapkan pemerintah selalu lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar.
Padahal harga yang ditetapkan pemerintah semestinya harus lebih tinggi jika mempunyai kemauan meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup petani dan keluarganya.
Gede Sedana menambahkan, Indonesia hingga kini masih mengimpor garam, kedelai, dan produk-produk yang menjadi konsumsi utama bagi masyarakat, selain produk peternakan dan hortikultura.
"Jika kondisi pembangunan pertanian belum beranjak secara cepat ke arah yang lebih baik, maka akan semakin kentara bahwa sektor pertanian akan tetap digunakan sebagai komoditas politik," ujar Gede Sedana.
Oleh sebab itu, lanjutnya, secara perlahan petani dan keluarganya akan beralih profesi dan selanjutnya semakin mendorong lajunya alih fungsi lahan, karena ketertarikan di sektor pertanian semakin memudar.
Untuk itu ke depan, tahun politik harus diterjemahkan sebagai tahun politik pertanian yang semakin jelas arahnya untuk membangun pertanian berkelanjutan, ujarnya. (WDY)