Dentingan suara genta, semerbak wangi bunga dan dupa akan mewarnai kembali kehidupan masyarakat pada 1.400 desa adat (pekraman) di Bali yang secara serentak menggelar ritual "Pamelehpeh Jagat", Sabtu (1/3).
Kegiatan ritual secara serentak di lingkungan desa adat di Pulau Dewata, termasuk di tempat suci Kantor Gubernur Provinsi Bali, dipusatkan di Pura Kentel Gumi, Kabupaten Klungkung, 60 km timur Denpasar bertepatan dengan hari Tilem Sasih Kawulu.
Ritual itu akan dipimpin dua pendeta, yakni Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Griya Aan Klungkung serta Ida Pedanda Gunung Sari dari Griya Ubud, Kabupaten Gianyar.
"Ritual secara serentak itu bertujuan memohon keselamatan umat dan alam agar terhindar dari musibah dan hal-hal lain yang tidak diinginkan menyikapi serentetan bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini," tutur Kepala Biro Humas Pemprov Bali Ketut Teneng.
Kegiatan tersebut telah dikoordinasikan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) dengan seluruh desa adat di delapan kabupaten dan satu kota di daerah ini.
Pelaksanaan ritual "Pamelehpeh Jagat" merupakan tindak lanjut dari masukan dan petunjuk yang diberikan para sulinggih (pendeta Hindu) kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
Petunjuk tersebut selanjutnya disikapi dengan pertemuan yang menghadirkan berbagai lembaga keumatan, seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia, MUDP, para sulinggih dan sejumlah "pemangku" atau pemimpin ritual di Pura Besakih.
Dalam pertemuan yang digelar di Jayasabha Rumah Dinas Gubernur Bali pada hari Minggu (23/1) tersebut akhirnya disepakati untuk menggelar ritual "Pamelehpeh Jagat".
Dalam pertemuan itu terungkap bahwa belakangan muncul tanda-tanda alam seperti bencana dan kejadian di luar akal sehat manusia. Serentetan kejadian tersebut, antara lain terbunuhnya seorang ayah oleh putranya saat ritual "ngerehang rangda", seorang sulinggih yang juga meregang nyawa di tangan putranya hingga kejadian beruntun suami membunuh istri hanya karena masalah sepele.
"Kejadian di jalan raya pun tak kalah mengerikan. Belakangan kerap terjadi kecelakaan yang memakan banyak korban jiwa. Selain kejadian antarmanusia, bencana alam pun terjadi silih berganti," tutur pria asal Buleleng yang telah mengabdikan diri lebih dari tiga dasawarsa itu.
Mengacu pada salah satu sastra Agama Hindu, yakni Lontar Roga Sengara Bumi, kejadian di luar akal sehat tersebut perlu disikapi dengan menggelar ritual "Pamelehpeh Jagat" yang bertujuan untuk mohon keselamatan dan kerahayuan jagat.
Persembahyangan
Kegiatan ritual di masing-masing desa adat sesuai dengan imbauan Ida Pedanda Gede Putra Tembau dapat dilaksanakan di Pura Puseh, Bale Agung, dan Pura Dalem di masing-masing desa adat yang diakhiri dengan persembahyangan bersama.
Kegiatan ritual itu dilanjutkan di tempat suci keluarga masing-masing (merajan). Sarana ritual antara lain di Pura Puseh dan Bale Agung serta Pura Dalem dihaturkan banten (sesajen) pejati, canang sari, punjungan, prascita, biukaonan, dan "durmanggala".
Sementara di "meraja" masing-masing, umat juga menghaturkan pejati, canang sari, dan punjungan putih kuning.
Selain kegiatan ritual itu juga diimbangi kegiatan secara nyata, yakni menjaga kelestarian lingkungan Pulau Dewata sebagai upaya menekan sekecil mungkun daampak bencana alam.
Demikian pula dalam mencegah jatuhnya korban sia-sia di jalan raya, Ketut Teneng mengingatkan agar pengguna jalan raya mematuhi aturan berlalu lintas, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Komunikasi antaranggota keluarga juga harus dibangun untuk menghindari pertikaian yang merenggut korban jiwa," harap Teneng.
Kearifan Lokal
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Dr. I Gusti Ngurah Sudiana menegaskan bahwa Bali memiliki banyak kearifan lokal yang dipercaya dan diyakini masyarakat setempat mampu menangkal bencana alam maupun musibah dalam menjalani kehidupan sehari-sehari.
Masyarakat Bali yang sebagian besar beragama Hindu itu melaksanakan kegiatan ritual yang tidak bisa terlepas dari kehidupan beragama, adat-istiadat, dan budaya masyarakatnya yang menyatu.
Telah menjadi opini masyarakat umum, terutama dari luar daerah, bahwa antara aktivitas adat dan agama di Pulau Dewata sulit dibedakan. Sebab, keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari umat Hindu di Pulau Dewata.
"Kearifan lokal yang dipercaya dan diyakini untuk menghindari bencana alam, baik di darat, laut, maupun udara, dengan menggelar kegiatan ritual yang disebut pemayuh jagat," tutur Sudiana.
Kegiatan ritual berskala besar umumnya dilaksanakan jika dipandang perlu melihat kondisi yang terjadi di Bali, secara nasional dan dunia, seperti yang sebelumnya pernah digelar di kompleks Pura Besakih, 9 Januari 2005.
Saat itu bencana alam terjadi di Bali dan sejumlah daerah di Indonesia, baik di darat, laut, maupun udara. Melalui kegiatan ritual tersebut umat mohon keselamatan dunia beserta isinya.
Demikian pula dalam lingkungan desa adat (pekraman) sekali dalam kurun waktu 30 tahun wajib melaksanakan kegiatan ritual yang disebut "Karya Ngenteg Linggih", termasuk di antaranya "mulang pekelem", yakni mengobankan binatang suci untuk menetralisasi alam lingkungan.
Demikian pula di Pura Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Pulau Dewata saat ritual Panca Wali Krama, yakni kegiatan ritual setiap lima tahun sekali juga mengorbankan binatang suci.
Binatang suci yang terdiri atas kambing, kerbau, sapi, angka, penyu, dan jenis binatang lainnya ditenggelamkan di laut, danau, dan kepundan gunung.
Makelem di laut untuk memohon keselamatan umat manusia beserta isinya di laut, makelem di danau untuk mohon keselamatan di darat, dan makelem di kepundan gunung untuk mohon keselamatan di udara.
Umat dalam memohon keselamatan dunia beserta isinya tidak hanya di Bali, tetapi secara nasional, bahkan dunia agar mendapat keselamatan dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, tutur Ngurah Sudiana. (*/DWA)
Ritual Terhindar Bencana
Selasa, 25 Februari 2014 14:22 WIB