Yogyakarta (Antara Bali) - Pemerintah Kota Denpasar beserta rombongan jurnalis dari Ibu Kota Provinsi Bali itu, belajar kiat sukses Pemkot Yogyakarta menata pedagang kaki lima.
"Denpasar sebagai sebagai kota destinasi wisata bukan berarti tidak memerlukan PKL, namun keberadaannya mesti tertata dan senantiasa memperhatikan aspek kebersihan serta kesehatannya," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemkot Denpasar Ida Bagus Rahoela dalam kunjungannya bersama awak media ke Yogyakarta, Kamis (23/11).
Menurut dia, untuk memecahkan permasalahan PKL di Denpasar relatif lebih rumit dibandingkan dengan Yogyakarta, selain karena penduduk lebih heterogen, dipengaruhi pula faktor budaya.
"Di Yogyakarta budayanya masih sangat terkait dengan keraton dan sultan, sedangkan di Denpasar tidak jarang aspirasi datang dari masyarakat, bukan hanya dari pemimpin saja," ujarnya.
Sisi positif yang dapat diteladani dari Yogyakarta, kata dia, di antaranya betapa terjalin sinergi antara satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang satu dengan yang lainnya, termasuk dalam menangani PKL.
"Di Yogyakarta, misalnya Dinas Kesehatan rutin mengecek makanan yang dijajakan PKL, selain Dinas Ketertiban juga mengawasi pelaksanaan regulasi terkait PKL yang ujung-ujungnya untuk memberikan kenyamanan pada pengunjung," kata Rahoela.
Sementara itu,Kepala Seksi Ketertiban Dinas Ketertiban Pemkot Yogyakarta Rikardo Putro Mukti Wibowo mengatakan terkait ruas jalan yang boleh menjadi tempat berjualan PKL sudah diatur dalam Perda Nomor 26 Tahun 2010.
"Untuk pengeluaran izin PKL dikeluarkan melalui keputusan camat. Tetapi sejak 2010 sudah dibatasi pengeluaran izin PKL supaya Yogyakarta tidak disesaki dengan PKL," katanya.
Ia mengatakan apabila PKL tidak memperhatikan kebersihan atau higienitas barang yang dijual, izin yang diberikan dapat dikaji ulang. Untuk di kawasan Malioboro saja, jumlah PKL mencapai lebih dari 2.000 pedagang.
Izin yang diberikan bagi PKL tidak hanya mengatur zona, akan tetapi juga ditentukan waktu buka dan tutupnya. Untuk mendapatkan izin tersebut dari camat, masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya alias gratis.
"PKL di sini juga memiliki peguyuban sehingga memudahkan kami untuk berkoordinasi," kata Rikardo. Di sisi lain, ketika PKL sudah bisa mengontrak tempat sendiri, maka izinnya tidak diperpanjang.
Operasi pengawasan rutin oleh Satuan Polisi Pamong Praja Pemkot Yogyakarta rata-rata dilakukan dua kali dalam sehari. (LHS)