Seni budaya, adat dan agama yang dianut sebagian besar masyarakat Bali merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan memberikan arti, fungsi dan makna dalam tata keagamaan di Pulau Dewata.
Aktivitas ritual secara umum yang nampak adalah budayanya, seperti pada saat piodalan di Pura, baik seni sastra, seni tabuh (kerawitan), seni tari, seni kidung dan merangkai janur (jejahitan banten).
Seni budaya memang selalu mengiringi aktivitas ritual baik dalam bentuk Panca Yadnya, maupun keagamaan lainnya, sehingga seni tari menjadi aktivitas yang menunjang kegiatan keagamaan dan budaya masyarakat di Bali.
Tumbuhnya seni budaya pada awalnya merupakan kreativitas yang dipersembahkan kepada Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa sebagai wujud bhakti, tutur Dosen Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Wayan Suarjaya, MSi.
Mantan Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI itu menjelaskan, seni tari merupakan bagian dari hasil kreativitas budaya yang dijiwai oleh nilai-nilai agama. Seni sakral adalah karya seni yang berkaitan dengn aktivitas keagamaan yang mempunyai nilai filosofis tinggi, mengandung suatu kekuatan magis religius dan berkaitan dengan ritual.
Seni sakral hanya dipentaskan pada waktu tertentu, yakni hari-hari yang mempunyai hubungan dengan ritual keagamaan tertentu. Seni tari pada awalnya merupakan seni yang dipersembahkan kepada sang Pencipta, sebagai penghormatan tertinggi kepada Tuhan.
Gerak tari yang menyuguhkan estetika budaya dalam bingkai religius Hindu tetap menarik untuk dinikmati, sehingga Bali sebagai daerah tujuan wisata itu mampu menarik perhatian wisatawan dalam dan luar negeri.
Dr I Wayan Suarjaya yang juga pengurus komunitas pengkajian agama, budaya dan pariwisata Bali menjelaskan, kegiatan ritual dapat menumbuhkan perasaan seni yang sangat mendalam kepada masyarakat yang mendalami bidang seni pahat, gamelan, lukis, tari dan seni hias.
Kesenian apa pun bentuknya pada dasarnya merupakan hasil aktivitas budaya dalam wujud ekspresi dan kreativitas seniman. Seni hasil olah rasa, cipta dan karsa seniman, kesenian tidak akan bisa dilepaskan dari ikatan nilai-nilai luhur budaya senimannya.
Dengan demikian menjadi sebuah ekspresi yang memancarkan naluri seseorang dalam menggelutinya, sehingga menimbulkan rasa estetis baik kepada pencipta, pelaku, maupun penikmatannya.
Sentuhan seni yang mampu menghaluskan jiwa, sehingga kegiatan adat, budaya dan agama yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun mampu menanamkan nilai-nilai budaya tradisi Bali.
Kerinduan Ingin Bertemu
Dr I Wayan Suarjaya, pria kelahiran Tabanan itu menjelaskan, dalam aktivitas keagamaan dan budaya mengandung rasa bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri.
Seniman ingin menjadi satu dengan seni itu sesungguhnya setiap insan di dunia ini adalah percikan dari seni. Melalui sifat religius masyarakat dan ajaran agama yang universal dan semua penganut dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
Bahkan berbagai gerakan tari dikaitkan dengan pemujaan serta bentuk dan fungsi ritual yang dilaksanakan seperti ritual Dewa Yadnya dengan mementaskan tari Pendet, Rejang, Baris dan sejenisnya,
Sedangkan untuk ritual ngeruwat (melukat) mementaskan kesenian wayang Sapuleger dan wayang Lemah. Dengan demikian banyak tumbuh berbagai jenis kesenian yang memang ditujukan untuk suatu pemujaan tertentu, atau juga sebagai pelengkap dari pemujaan tersebut.
Selain itu juga berkembang seni pertunjukkan yang sifatnya menghibur. Melalui kebebasan berekspresi dalam rangka pemujaan maupun sebagai pendukung dari suatu ritual tertentu, maka di Bali ada digolongkan menjadi dua buah sifat pertunjukkan atau seni, yakni seni wali yang disakralkan dan profan yang hanya berfungsi sebagai tontonan atau hiburan.
Seni tari dalam perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari aktivitas keagamaan dan budaya masyarakat di Bali.
Tempat suci pura maupun candi yang dibangun begitu indahnya sebagai ungkapan rasa estetika, etika, dan sikap relegius masyarakat. Seniman (pregina) dengan penuh semangat "ngayah" atau menari tanpa pamerih mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud aktivitas keagamaan dan budaya bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dr I Wayan Suarjaya yang pernah menjabat Ketua STAHN Denpasar yang statusnya kini ditingkatkan menjadi IHDN Denpasar itu menambahkan, aktivitas keagamaan dan budaya yang ditunjang oleh seni tari disebut dengan tari sakral.
Tari sakral atau tari wali merupakan tari yang dipentaskan dalam rangka suatu piodalan atau yadnya dan penarinya disucikan secara ritual terlebih dulu. Kesucian tarian tersebut terdapat pada peralatan yang dipergunakan seperti tari pendet yakni pada "canang sari", "pasepan", dan "tetabuhan" yang dibawa.
Demikian pula tari Rejang kesucian itu pada gelungan (perhiasan kepala) serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus rejang renteng). Topeng Sidakarya pada bentuk tapel, kekereb, beras sekarura, dan lain-lainnya, mempunyai nilai-nilai filosofis yang tinggi.
Kegiatan ritual yang disertai dengan topeng Sida Karya, sebagai simbul suksesnya kegiatan itu (sida karya) bermakna untuk menyempurnakan sebuah yadnya (pengorbanan suci), tutur Dr I Wayan Suarjaya. (LHS)