Denpasar (Antara Bali) - Masalah korupsi yang belakangan ini marak terjadi tidak hanya melanda Indonesia, namun juga dialami negara-negara yang terhimpun dalam wadah kerja sama ekonomi kawasan Asia-Pasifik (APEC).
Masalah korupsi yang dapat mengancam dan merusak sendi-sendi negara sekaligus menimbulkan kebangkrutan sebuah negara itu mendorong Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, 1-9 Oktober 2013 untuk mencuatkan isu perang melawan korupsi secara besar-besaran.
Sebuah dokumen tentang gagasan yang tertuang dalam prioritas "Achieving Sustainable Growth with Equity" dalam KTT APEC 2013.
Dokumen itu menyebutkan bahwa gagasan Indonesia untuk membentuk APEC Anti-Corruption and Transparency Network (ACT-NET), selain sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi pada tingkat nasional, juga akan memperkuat komitmen pemerintah untuk bekerja sama dengan otoritas penegak hukum dari seluruh anggota ekonomi APEC.
Jaringan kerja sama ini akan difokuskan pada otoritas atau pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani kasus korupsi di seluruh anggota ekonomi APEC.
Dengan demikian, ACT-NET dapat turut membantu upaya pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus-kasus korupsi di luar wilayah Nusantara melalui jalur kerja sama informal dan formal di antara ekonomi APEC.
Sebelumnya Indonesia mengharapkan "Anti-Corruption and Transparency Experts Task Force" (ACT) dapat membantu upaya pemerintah dalam mengusut kasus-kasus korupsi di luar wilayah Indonesia melalui kerja sama informal dan formal.
Pengamat ekonomi Gede Sudibia memberikan apresiasi atas kesepakatan KTT APEC dalam mencegah dan mengatasi masalah korupsi.
Namun kesepakatan itu bagi Indonesia perlu mengimplementasikan untuk mampu mengatasi masalah korupsi yang kini hampir terjadi pada sebagian besar menyangkut aspek kehidupan masyarakat.
"Kesepakatan itu perlu diapresiasi, tapi masih bersifat umum dan normatif bagi Indonesia, sehingga perlu program aksi yang lebih jelas dan nyata dalam implementasinya," ujar Gede Sudibia yang juga konsultan manajemen ekonomi.
Hal itu penting mengingat masalah korupsi di Indonesia kini sudah dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Program aksi nyata dalam mengatasi masalah korupsi di Indonesia itu perlu belajar dari Singapura dan Hong Kong yang selama ini dinilai cukup berhasil dalam mengatasi kerugian negara akibat perbuatan yang tidak bertanggung jawab.
Untuk itu program aksi nyata dalam memberantas korupsi perlu mendapat dukungan dari semua pihak, karena korupsi merupakan kejahatan luar bisa yang memiskinkan masyarakat dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Masalah korupsi di Indonesia saat ini sangat dahsyat pada titik paling rendah (nadir) dalam kehidupan hukum sebagai akibat sistem politik dan perilaku politik biaya mahal.
Bahkan, belakangan ini politik berkembang menjadi industri sebuah pasar jual beli sehingga dapat melumpuhkan idealisme bangsa Indonesia. Kondisi demikian itu harus dapat diubah kembali berpegangan pada UUD 1945 dan Pancasila yang telah digariskan para pendiri bangsa Indonesia.
Anggota ekonomi APEC telah menyadari bahwa korupsi menjadi kendala dalam upaya menerapkan pembangunan sosial dan ekonomi sekaligus faktor penyebab turunnya kepercayaan publik dan investor.
Demikian pula korupsi merusak daya saing pasar yang sehat, mengancam keselamatan konsumen dan meningkatkan biaya usaha, pelayanan publik dan proyek infrastruktur.
Berdayakan KPK
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Prof Yohanes Usfunan berpendapat Indonesia dalam menindak lanjuti kesepakatan KTT APEC dalam memberantas korupsi tidak perlu membentuk lembaga baru.
Upaya memberantas korupsi itu antara lain dapat dilakukan dengan memberdayakan komisi pemberantasan korupsi (KPK) untuk dapat menangani korupsi secara baik dengan menambah keanggotaannya yang selama ini lima orang menjadi sepuluh hingga 15 orang.
KPK itu tetap berkedudukan di Ibu Kota Jakarta, dengan membagi keanggotaannya sedemikian rupa, masing-masing mengawasi dua hingga tiga provinsi di Tanah Air.
Dengan cara itu akan fokus dapat menangani masalah korupsi dengan baik, disamping jalinan kerja sama dan memfungsikan aparat penegak hukum lainnya secara maksimal.
Meskipun keanggotaan KPK itu ditambah, tetap berkedudukan di ibukota Jakarta dan tidak perlu ditempatkan di daerah atau ibukota provinsi, ujar Prof Usfunan, yang mantan anggota tim pakar seleksi Hakim Agung RI dan Komisi Yudisial RI.
Keanggotaan KPK masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab mengawasi dua hingga tiga provinsi disamping kewenangan yang diemban dalam menangani berbagai masalah korupsi di tingkat pusat.
Upaya tersebut akan mampu menekan sekecil mungkin atau mencegah terjadinya kasus-kasus korupsi yang belakangan dinilai sangat marak.
Kesepakatan APEC untuk melawan korupsi merupakan hal yang sangat strategis untuk segera ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Isu korupsi dan transparansi merupakan salah satu agenda penting dalam proses kerja APEC secara keseluruhan.
Kunci dalam mengatasi masalah korupsi di Indonesia sangat tergantung dari kesungguhan dan kerja keras para aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, hakim dan jaksa.
Aparat penegak hukum dalam keseriusannya mengatasi korupsi dapat menjatuhkan hukuman berat dan konsisten secara murni.
Semua negara anggota APEC dalam mengatasi masalah korupsi itu diaplikasikan dalam keinginan dan tekad untuk memberantas semua tindakan yang merugikan negara, meskipun upaya penanganannya menjadi kedaulatan masing-masing negara.
Hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada koruptor harus konsisten dengan menjatuhkan hukuman mati atau seumur hidup. Sikap tegas itu karena tindakan korupsi hampir sama dengan tindakan penyalahgunaan narkoba yang dampaknya sangat luas kepada masyarakat.
Adanya kesungguhan dari aparat penegak hukum dengan dukungan dari semua pihak termasuk masyarakat akan mampu mengatasi masalah korupsi secara tuntas, sekaligus mengangkat harkat, martabat dan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, ujar Prof Usfunan. (LHS)
Menanti Aksi Nyata Kesepakatan APEC Atasi Korupsi
Sabtu, 19 Oktober 2013 16:24 WIB