Kaum perempuan Bali yang selama ini cenderung akrab dengan seni budaya, belakangan ini juga tidak sedikit yang meraih kesuksesan di bidang politik.
Wanita Bali memang dikenal gigih dan sanggup kerja apa saja yang produktif dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Setiap saat mereka sangat sibuk menyiapkan sarana ritual rangkaian sejumlah hari suci, di samping memacu diri menguasai iptek lewat pendidikan formal hingga perguruan tinggi.
Kegigihan wanita Bali tampak dengan tanpa "pandang bulu" dalam melakukan pekerjaan, karena jenis pekerjaan apa pun sangup dipikulnya, termasuk dalam bidang politik, tutur Guru besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof Dr Wayan P. Windia.
Wanita Bali dalam kehidupan sehari-hari selama ini sudah terbiasa bergelut dengan dunia politik, tanpa mengenyampingkan perannya dalam kehidupan keluarga maupun dalam lingkungan desa adat.
Undang-undang telah memberikan ruang kepada wanita untuk terjun dalam bidang politik, meskipun selama ini didominasi kaum pria.
Namun, dengan adanya kuota 30 persen bagi calon legislatif (caleg) wanita sangat terbuka peluang mereka berkiprah dalam kancah politik, ujar Prof P. Windia yang juga pengamat masalah Hukum Adat di Bali.
Peluang besar bagi perempuan Bali dalam kegiatan politik mulai dimanfaatkan secara maksimal, mengingat semua partai politik terbuka terhadap caleg perempuan, bahkan terkesan parpol "memaksa" perempuan Bali untuk ikut dalam pertarungan merebut kursi di DPRD kabupaten/kota, provinsi maupun DPR-RI.
Demikian pula dalam beberapa tahun ke depan kaum hawa bisa menduduki jabatan strategis dalam bidang politik, pemerintah maupun swasta. Wanita Bali memiliki keunggulan antara lain pada penampilan, kemampuan intelektual, komunikasi serta keaktifan dalam organisasi.
"Zaman saya dulu wanita tidak terlalu aktif dalam kegiatan organisasi dan hasilnya kita bisa lihat setelah 20 tahun kemudian tidak terlalu banyak pemimpin wanita, beda dengan anak perempuan sekarang begitu semangat untuk kuliah dan mengikuti kegiatan di luar jam kuliah," tutur Windia.
Dia menjelaskan, secara umum anak perempuan dalam mengikuti kuliah umumnya lebih serius ketimbang pria, sehingga mereka mampu meraih lulusan terbaik "cum laude".
Selain itu anak perempuan umumnya lebih disiplin dalam mengikuti kuliah maupun membuat tugas dan beberapa aktivitas kampus sehingga kelak mengantarkan mereka menjadi seorang pemimpin.
Tiga wanita
Windia menjelaskan, wanita Bali dalam kegiatan politik terakhir menunjukkan prestasi yang gemilang, karena dari lima anggota komisi pemilihan umum (KPU) Bali yang lolos seleksi tiga di antaranya sosok perempuan.
Ketiga sosok wanita Bali untuk menjadi anggota KPU untuk lima tahun ke depan itu terdiri atas Ni Putu Ayu Winariati, Ni Made Widhiastini dan Ni Kadek Wirati. Dua anggota lainnya adalah pria masing-masing I Wayan Jondra dan Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.
Ketiga wanita Bali dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya menjadi anggota KPU Bali itu tidak akan mengganggu atau mengenyampingkan peran dan fungsinya dalam keluarga, baik sebagai ibu dari putra-putrinya maupun sebagai pendamping suami.
Pengamat politik Dr Luh Riniti Rahayu mengapresiasi KPU pusat yang memiliki perspektif gender sehingga tiga perempuan lolos menjadi anggota KPU Bali periode 2013-2018.
Meskipun di KPU pusat hanya ada satu komisioner perempuan, tetapi komisioner yang lainnya memiliki perspektif gender yang baik dan dapat melihat kualitas calon perempuan dengan adil.
"Kita bisa memaknai dari hasil ini bahwa sesungguhnya kaum hawa mempunyai kompetensi yang tidak kalah dengan laki-laki apabila diberikan kesempatan sama," ujar Luh Riniti Rahayu yang juga Dekan Fisip Universitas Ngurah Rai Denpasar.
Peluang dan kesempatan bagi perempuan bisa saja tidak muncul jika sejak awal tim seleksi hingga KPU Pusat yang menilai tidak memiliki perspektif gender.
"Dengan mayoritas anggota KPU Bali itu kaum perempuan, sekaligus menunjukkan simbol keberhasilan perjuangan perempuan Bali di ranah politik," ujar Riniti Rahayu yang juga ketua LSM Bali Sruti.
Kelembutan perempuan bukan berarti menjadi sosok yang lemah dan kesantunan kaum hawa bukan pula otomatis dapat dijajah. "Kaum perempuan memang berbeda dengan laki-laki, tetapi bukan untuk dibeda-bedakan," katanya.
Adanya kesempatan lebih banyak bagi kaum perempuan berkiprah di KPU seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik tanpa harus meninggalkan jati diri demi mewujudkan pemilu yang berintegritas dan lebih baik.
Pengamat politik lainnya Dr Anak Agung Oka Wisnumurti menilai bukan persoalan anggota KPU Provinsi Bali mayoritas dipegang oleh kaum perempuan sepanjang mereka sadar dapat mengorbankan kepentingan domestik.
Untuk itu ke depan, tidak boleh ada anggota KPU yang tidak masuk gara-gara mengerjakan hal yang bersifat domestik dan kaum perempuan yang duduk di KPU Bali harus mampu menunjukkan hal itu.
Sudah tidak zamannya lagi membedakan jenis kelamin dalam mencari pemimpin atau pejabat publik. Jauh yang lebih penting dilihat itu adalah kemampuan.
"Sebenarnya perempuan Bali itu berkualitas, tetapi seringkali masalahnya secara kultural tidak diberikan kesempatan untuk menunjukkan perannya," ujar Wisnumurti yang juga mantan Ketua KPU Bali.
Ikhlas
Windia menjelaskan, perempuan Bali dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga mengemban tugas yang sangat penting dalam menyukseskan berbagai kegiatan ritual dan upacara adat.
Semua itu dilakoninya dengan ikhlas dan senang hati, di luar tugas dan tanggung jawab dalam menekuni profesi masing-masing. Wanita Bali memiliki ketulusan, keikhlasan dan ketekunan dalam memaknai hari-hari suci keagamaan yang kadang kala jatuh secara beruntun.
Wanita Bali tidak bekerja sendirian untuk itu, mereka dibantu oleh suami dan anggota keluarga lainnya, namun yang paling menonjol adalah peranan dan aktivitas kaum ibu.
Perempuan Bali memang sejak kecil terlatih membuat "banten" dan orangtua selalu melibatkan anak perempuan dalam membuat sesaji upacara ritual.
Metode mendidik anak belajar sambil bekerja sangat efektif dan menunjukan hasil gemilang, sehingga wanita Bali tidak pernah berkeluh kesah dalam menunaikan tugas serta kewajibannya.
Dengan keluguan mengarungi kehidupan, wanita Bali sanggup beradaptasi dengan perempuan modern. Mereka juga menjadi objek dan inspirasi bagi seniman lukis dalam menciptakan karya seni di atas kanvas.
Jika diinventarisasi, tidak terhitung jumlahnya keeksotikan perempuan Bali yang dimanfaatkan menjadi objek lukisan oleh seniman dalam dan luar negeri yang berdomisili di Pulau Dewata.
W. Gerard Holker, seniman asing yang lama bermukim di perkampungan seniman Ubud, misalnya sangat terpesona oleh "Kartini Bali" dalam pakaian adat serat bunga emas, membawa sesajen dalam bokor.
Demikian pula perintis seni lukis Pita Maha di Ubud, Rudolf Bonnet semasa hidupnya sering kali melukis sosok wanita Bali yang polos, rambut panjang dikepang dengan bunga kamboja terselit di pangkal ekor kepang rambutnya.
Sementara Mario Antonio Belanco maupun pelukis Dullah tidak luput menggambarkan wanita Bali dari segi erotisnya. Sementara I Nyoman Djirna, seniman lokal menggambarkan wanita Bali dari keluguan, kepolosan dan kodratnya, tutur Prof P. Windia.
Dan kini, "Kartini" dari Pulau Dewata ini pun mulai merambah dunia politik, wilayah yang salama ini dianggap asing dan bahkan tabu untuk mereka. (WRA)