Bali sebuah Pulau kecil dengan luas hanya 0,29 persen dari daratan Tanah Air (5.632,86 km2 ), namun memiliki unsur lengkap di dalamnya, mulai dari danau, sungai, gunung dan kawasan hutan yang membujur dari arah barat ke timur.
Para Dewata mentakdirkan sebagai tempat yang penuh kegemilangan, alamnya menyimpan kekuatan gaib, panorama alam yang indah, serta keunikan warisan seni budaya dan kegiatan ritual yang terpelihara hingga sekarang.
Keanekaragaman seni budaya serta kehidupan ritual yang kokoh dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya memberikan inspirasi bagi seniman mancanegara, namun jauh sebelum itu orang-orang suci telah berkunjung ke Bali.
"Orang-orang suci itu membangun peradaban ideal dan tata kemasyarakatan yang harmonis. Orang-orang suci sudah membangun Bali, jauh sebelum Seniman asing antara lain Andrien Jean Le Mayeur, Walter Spies, Antonio Belanco, Arie Smith dan Miguel Covarrubias, seorang penulis, pelukis dan antropolog kelahiran Meksiko menetap di Bali untuk menghasilkan karya seni bermutu, tutur Pembantu Rektor I Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Drs I Ketut Murdana, MSi.
Penekun spiritual itu menjelaskan, orang suci datang silih berganti dalam periode waktu yang tidak terputus sejak zaman pra sejarah hingga zaman sejarah. Rsi Markandeya dari India misalnya sudah datang ke Bali pada zaman pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (1007 Masehi) dan membangun pondasi Pura Besakih di lereng Gunung Agung yang selalu menebar kedamaian bagi rakyat Pulau Dewata.
Ia datang dari tanah Jawa bersama ratusan pengikutnya yang kemudian disebut orang Bali Aga yang secara khusus mendidik warga setempat untuk melaksanakan berbagai jenis kegiatan ritual yang diwarisi masyarakat Pulau Dewata hingga sekarang.
Sebuah tatanan masyarakat yang hidup berdasarkan prinsip kebenaran dalam nuansa spiritual yang kental, keindahan fisik, tingkah laku serta apapun yang digelutinya dibuat seindah mungkin.
Setelah Rsi Markandeya menyusul kedatangan Mpu Kuturan dari tanah Jawa pada akhir milenium tahun masehi atas permintaan Raja Udayana dan Ratu Gunapriya Ganapatni untuk menata kembali tata kemasyarakatan dibidang spiritual (sosio-religius).
Orang suci terakhir yang datang dan tercatat dalam sejarah Bali adalah Danghyang Dwijendra datang dari tanah Jawa pada abad ke-14. Ia mengadakan kunjungan (Dharma yatra) keliling Bali untuk menegakkan dharma (kebenaran).
Salah satu kegiatan ritual tersebut adalah Hari Raya Saraswati, hari lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang jatuh setiap 210 hari sekali kali ini dirayakan Sabtu, 10 Agustus 2013.
Pelajar dari seluruh jenjang pendidikan di Bali mengikuti perayaan Hari Raya Saraswati, hari lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dengan mengadakan persembahyangan bersama di sekolahnya masing-masing.
Seluruh pelajar mengenakan busana adat khas Bali mengikuti seluruh rangkaian ritual secara khidmat yang berlangsung sejak pagi hingga siang.
Iptek itu diibaratkan sebagai seorang wanita cantk yang diwujudkan dalam patung
Dewi Saraswati sekaligus lambang ilmu pengetahuan seperti umumnya dipajangkan di halaman masing-masing sekolah di Bali.
"Wanita cantik" yang penuh arti simpati dan berwibawa itu memiliki empat tangan masing-masing memegang keropak (mendalami ilmu pengetahuan), bunga teratai (lambang kesucian), genitri (belajar seumur hidup) serta alat musik (ilmu pengetahuan itu indah dan berirama).
Ilmu pengetahuan itu diibaratkan air yang terus mengalir tidak terbendung. Jika ada orang setelah belajar menjadi merasa pintar, dan berhenti belajar, padahal masih banyak yang harus dipelajari dan menyerahkan ilmu yang "dimiliki" kepada "Dewi Saraswati" agar pemiliknya menjadi penuh wibawa, jauh dari keegoisan dan kesombongan.
I Ketut Murdana (57), pria kelahiran Gianyar yang juga Guru Ashram Vrata Wijaya Denpasar dengan gelar Sri Hasta Dhala itu mengajak untuk merenungi apa yang telah dilakukan di masa lalu dan bagaimana menyikapi masa kini yang sudah sangat berubah, di era iptek yang penuh tantangan.
Oleh sebab itu sudah saatnya ritual dengan bungkusan rapi nan indah itu Hari Saraswati dibuka secara pelan dan hati-hati agar tidak merusak keindahannya.
Hal itu merupakan kewajiban dari setiap orang jika ingin menemukan sesuatu yang belum diketahui, dimengerti untuk mencari jawaban yang sebenar-benarnya. Memperoleh pengetahuan yang dapat dirasakan dan dibuktikan kebenarannya, sangat dibutuhkan dalam era rasional seperti sekarang ini.
Hal itu penting disadari dan dimaknai agar mampu membentuk langkah tegas, tidak tolah-toleh, dan penuh keraguan sehingga budaya dogma tidak selalu menguasai.
Proses pendakian
Ketut Murdana yang juga seniman andal sukses menggelar pameran di tingkat lokal, nasional dan internasional itu menilai, kenyataan sikap mewarisi nilai-nilai ritual hingga sekarang masih terpelihara, namun berakibat lambannya proses kompetisi di era globalisasi.
Membuka kabut misteri merupakan proses pendakian menuju inti pengetahuan yang ada di dalamnya. Ketika lapisan pembungkus itu telah dikupas secara perlahan, dan pada saatnya akan menemukan inti kebenarannya.
Pada saatnya yang dimaksud mengandung suatu pengertian ruang dimana manusia memperoleh berkat aliran kebenaran dari Yang Maha Kuasa dan kemampuan manusia menghadapi dan mengalami proses yang menjadikan dirinya cerdas dan berani menghadapi resiko.
Saatnya itu juga berarti waktu pertemuan yang diatur oleh Sang Waktu, ketika saatnya telah tiba pertemuan antara perjuangan dan hasilnya, maka kebahagian akan tercipta serta dapat dirasakan oleh pelakunya.
Purana, salah satu kitab suci Hindu telah memberikan isyarat ketika Hanoman
mencari tumbuhan Sanjiwani untuk dijadikan obat penawar bagi Laksamana akibat kena panah sakti racun ular Meganada, di tengah perjalanan dihadang oleh Pendeta siluman yang mengajaknya menginap di Ashramnya dan mempersilahkan mandi di telaga suci.
Namun Hanoman ketika mandi secara tiba-tiba diserang seekor buaya yang amat galak terus mencengramnya. Namun dengan sigapnya Hanoman mampu membunuh buaya itu yang sesungguhnya adalah penjelmaan seorang bidadari cantik akibat suatu kutukan.
Melalui purana itu dapat dipetik makna bahwa, seseorang yang dialiri sifat-sifat Tuhan akan teruji oleh keadaan, dalam proses pengabdian itu akan menemukan berbagai macam gelombang yang menerjang, konplik sosial serta permasalahan lain yang patut diatasi.
Ketika upaya memperjuangkan kewajiban itu tidak pernah menyerah, disitulah orang-orang akan bisa berlindung dan menemukan jalan pembebasan, memperoleh bantuan dan dukungan kekuatan, sehingga Sang Pengabdi mampu mempercepat proses sampai pada tujuannya.
Kesadaran melibatkan diri dalam pengabdian untuk kesejahtraan umat manusia adalah jalan pembebasan, yang semuanya datang dari kebesaran-Nya. Sadari dan yakinilah kebesaran-Nya, latihlah pelan-pelan menghilangkan rasa takut atau mau ditakut-takuti dogma, bangkitkan kesadaran pengetahuan, berdiri tegak dan kembali ke jalan pengetahuan yang mengalir dari Tuhan yang diberi nama Dewi Saraswati, tutur I Ketut Murdana. (WRA)
Saraswati Ibarat Bungkusan Rapi Nan Indah
Sabtu, 10 Agustus 2013 17:26 WIB