Denpasar (Antara Bali) - Matahari siang itu sudah di atas kepala. Tiupan angin yang semilir tidak mampu mengusir hawa panas di Subak Sengawang, wilayah Desa Adat Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, 25 km barat laut kota Denpasar.
Terik sinar matahari itu tidak mampu menyurutkan semangat I Wayan Karya (46) yang akrab disapa Pan Angga maupun rekannya I Nyoman Pugur yang lebih dikenal Pan Santhi (55) untuk terus mencangkul petakan sawah demi menyambung hidup keluarga dan menyekolahkan putra-putrinya.
Saat itu, kedua sosok petani yang mengolah sawah saling bersebelahan itu, muka dan badannya dipenuhi butiran-butiran keringat yang nyaris membasahi bajunya yang tampak sudah kumal itu.
Mereka istirahat sejenak di bawah pohon rindang di tegalan, untuk menikmati makan siang yang dibawakan oleh istrinya masing-masing di tengah hamparan sawah yang luas, dengan selokan yang tertata apik dan air yang mengalir masih jernih.
Itulah sosok petani yang kesehariannya harus bekerja keras mengolah lahan, belum lagi menyabit rumput untuk ternak sapi piaraannya, tanpa mengabaikan kewajibannya sebagai warga masyarakat yang senantiasa juga sibuk dalam kegiatan ritual dan adat.
Sementara untuk membiayai putra-putrinya sekolah harus menjual sapi dan babi, atau pintar-pintar sepetak sawahnya itu ditanami sayur mayur atau bunga pacar yang bisa dipanen setiap minggu.
Sosok Pan Angga dan Pan Santhi sebagai cerminan kondisi petani di Bali umumnya yang tidak berdaya, sehingga petani di Pulau Dewata kini menjadi semakin tersisih, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Prof Dr I Wayan Windia.
Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian di Pulau Dewata paling kecil dibanding sektor-sektor pertumbuhan lainnya. Selain perannya kecil, pendapatan petani juga rendah sehingga tidak sanggup hidup layak dan sejahtera.
Pendapatan masyarakat Bali yang menggeluti usaha sektor pertanian relatif kecil, paling rendah dibanding menekuni sektor industri kecil, buruh bangunan maupun jasa pariwisata.
Nilai tambah sektor pertanian hanya berkisar Rp2,5 juta per bulan untuk garapan lahan seluas satu hektare, padahal petani umumnya menggarap lahan rata-rata 20 are, sehingga penghasilannya sangat kecil.
Kemiskinan
Dengan demikian pekerjaan sebagai seorang petani identik dengan kemiskinan, karena pendapatan yang diperoleh tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena untuk memenuhi kebutuhan makan saja susah, apalagi untuk menyekolahkan putra-putrinya.
Bahkan hasil penelitian yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa dalam menyelesaikan S-1 menunjukan, pendapatan seorang petani lebih kecil dari seorang pengemis di objek-objek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan mancanegara.
Seorang petani menggarap lahan seluas 30 are (0,3 hektare) yang ditanami padi dalam waktu tiga bulan hanya menghasilkan Rp3,6 juta atau setiap bulannya Rp1,2 juta tidak termasuk untuk membeli bibit dan sarana produksi pertanian lainnya.
Sementara itu seorang pengemis di kawasan wisata Kuta, Kabupaten Badung setiap bulannya berpenghasilan Rp2,2 juta bersih, atau hampir dua kali dari penghasilan seorang petani yang mengarap lahan 0,3 hektare.
Oleh sebab itu petani umumnya kurang bergairah dalam menggarap lahan, karena pendapat yang diperoleh tidak sebanding dengan kerja keras. Oleh sebab itu ke depan perlu perhatian pemerintah dengan kebijakan yang pro rakyat.
Hal itu penting dilakukan, mengingat pembangunan sektor pertanian di Bali sangat stagnan yakni hanya sekitar 2,1 persen pertahun, sangat rendah dibanding perkembangan sektor pariwisata yang melaju pesat, tumbuh di atas tujuh persen.
Hal itu akibat pemerintah kurang memperhatikan sektor pertanian, padahal sektor itu mampu menyerap 30,87 persen atau 862,304 orang dari jumlah tenaga kerja di Pulau Dewata.
Sementara sektor pariwisata yang berkembang pesat itu hanya mampu menyerap sekitar 20 persen dari jumlah pekerja di Bali, lebih rendah dari sektor pertanian. Penyerapan tenaga kerja di sektor pariwisata selama ini sangat riskan, karena sedikit ada goncangan menimbulkan permasalahan serius terhadap pekerja, tutur Prof Windia.
Berkurang 11,23 persen
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Gede Suarsa menjelaskan, pekerja yang menggeluti sektor pertanian di Bali dalam setahun terakhir periode Februari 2012- Februari 2013 berkurang 73.400 orang atau 11,23 persen.
Hanya sektor pertanian satu-satunya yang mengalami penurunan jumlah pekerja, berbeda dengan sektor jasa lainnya yang justru mengalami peningkatan signifikan. Sementara sektor keuangan mengalami kenaikan tertinggi yakni sebesar 24,59 persen atau 19,12 ribu orang.
Sektor perdagangan, pertanian, jasa kemasyarakatan dan sektor industri secara berurutan menjadi penampung terbesar tenaga kerja pada bulan Februari 2012 dengan kontribusi masing-masing 29,24 persen, 24,69 persen, 16,07 persen dan 13,17 persen.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika ketika membuka seminar nasional yang digelar Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian (ISMP) Fakultas Pertanian Universitas Udayana, menantang para mahasiswa pertanian untuk konsisten menjadi petani setelah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi.
"Jika Anda tamat, harus konsisten jadi petani. Jangan mau jadi pegawai negeri. Ingat ya janjinya, terutama yang orang Bali," katanya.
Para pemuda Bali kini tidak tertarik menjadi petani karena lapangan pekerjaan lain banyak, lebih menjanjikan, lebih bergengsi, dan keren jika dibandingkan menjadi petani.
Dari dulu petani selalu diidentikkan dengan hidup susah sehingga jangan salahkan kalau petani sampai menjual sawahnya lalu dibangun hotel dan vila, selanjutnya mereka bekerja di sana menjadi tukang kebun dan satpam.
Mantan Kapolda Bali ini memandang logis juga pilihan petani seperti itu karena dari sanalah mereka akhirnya dapat menghidupi keluarga, dibandingkan menjadi petani.
"Itulah yang menjadi keprihatinan saya ketika baru menjadi gubernur, bahkan sebelum jadi gubernur. Setelah jadi gubernur, saya memutar otak supaya petani naik pendapatannya dan supaya bisa kaya. Kalau tidak bisa kaya, biar berbusa kita bicara tentu tidak bisa. Saya melihat bahaya jika kondisi ini dibiarkan terus," ucapnya.
Oleh sebab itu peran mahasiswa pertanian sangat penting karena menjadi petani saat ini tidak cukup hanya mengandalkan otot, tetapi harus dibarengi dengan otak. Dengan hasil penelitian yang didapat mahasiswa diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani hingga beberapa kali lipat.
"Tolong dibuat teori yang mudah untuk diaplikasikan. Jika kita melihat Balai Peneliti Teknologi Pertanian (BPTP) itu mereka sesungguhnya banyak sekali penelitian tetapi akhirnya sedikit yang teraplikasikan, itulah yang akhirnya menyebabkan pertanian terpuruk. Katanya kita negara agraris, tetapi beras masih impor, cabai impor, jagung impor, kedelai impor, dan singkong impor," ujarnya.
Pemprov Bali sejak 2009 telah memprogramkan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) dan telah terbentuk 400 unit di seluruh Bali sampai 2013. Pihaknya menargetkan dapat terbentuk 1.000 Simantri hingga 2018.
Dengan kebijakan ini diharapkan mampu mengubah pola pikir masyarakat bahwa menjadi petani bisa sejahtera. Jika penghasilan petani sudah bisa dua kali lipat, minat masyarakat khususnya generasi muda pun akan mencintai sektor pertanian, ujar Pastika. (*?ADT)
Generasi Muda Bali Kurang Tertarik Pertanian
Selasa, 7 Mei 2013 12:39 WIB