Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Pemerintah Indonesia melalui Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Mansury menekankan negara berkembang memiliki potensi besar menjadi pemain penting dalam rantai pasok global, karena didukung sumber daya alam melimpah.
“Migas, keanekaragaman hayati, sumber daya kemaritiman, penanganan isu iklim dan mineral kritis salah satu yang menjadi potensi memberikan benefit,” kata Pahala di sela sesi panel Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multi-Pihak dan Forum Indonesia-Afrika (IAF), di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Selasa.
Menurut dia, negara berkembang memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Namun, ia mengingatkan negara berkembang yang kaya potensi alam itu tidak hanya menjadi produsen atau mengekspor barang mentah.
Ada lima poin yang mendorong negara berkembang berpeluang lebih besar menjadi aktor bisnis dalam rantai pasok global, menyikapi tren dunia saat ini yakni fragmentasi ekonomi.
Baca juga: Indonesia pelajari wisata konservasi dari negara-negara di kawasan Benua Afrika
Lima poin tersebut, yakni pertama, mengembangkan integrasi ekonomi dan memperluas akses pasar untuk membalikkan fragmentasi ekonomi.
Fragmentasi ekonomi itu, kata dia, memicu terjadinya penurunan investasi asing pada 2023 yang secara global diperkirakan mencapai tujuh persen.
“Dengan peningkatan fragmentasi dunia, negara berkembang harus mengejar integrasi lebih besar termasuk melalui perjanjian ekonomi dan perdagangan untuk memfasilitasi akses pasar,” ujarnya lagi.
Negara dengan ekonomi bertumbuh (emerging market) termasuk di Asia dan Afrika diproyeksikan tumbuh 6,3 persen hingga lima tahun mendatang berdasarkan data Badan Moneter Internasional (IMF).
Tak hanya itu, juga didukung sumber daya manusia sebagai pasar besar, yakni di Afrika mencapai 1,5 miliar penduduk dan populasi di Asia Tenggara mencapai 1,7 miliar penduduk.
Baca juga: Indonesia ambil peluang IAF buat tambah kunjungan dari Afrika
Kedua, kata dia lagi, negara berkembang harus berkolaborasi untuk memastikan daya tahan rantai pasok khususnya di sektor pangan, energi, kesehatan dan mineral kritis atau jenis mineral yang diperlukan untuk teknologi energi hijau, di antaranya nikel, kobalt, litium, dan tembaga.
Memastikan daya tahan itu, ujar dia, tidak hanya dilakukan dengan memfasilitasi perdagangan dan pergerakan komoditas, tapi juga membangun infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik.
Ketiga, memfasilitasi konektivitas antarmanusia yang mendukung integrasi ekonomi, promosi perdagangan dan investasi serta pertukaran pengetahuan dan keahlian.
“Itu sebabnya selama IAF kedua ini, Indonesia mengorganisasi forum bisnis khusus per negara dan memfasilitasi pendekatan satu per satu bersama sektor swasta,” ujarnya lagi.
Keempat, pengembangan akses terhadap teknologi, dan kelima, pendanaan untuk memastikan partisipasi bisnis di rantai pasok global.
Kesenjangan pendanaan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), kata dia, tetap besar berkisar 2,5-4 triliun dolar AS per tahun.
Ada pun Bank Dunia mengestimasi negara berkembang perlu investasi sekitar 4,5 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) untuk mencapai infrastruktur dalam SDGs.
“Memobilisasi dan meningkatkan sumber lain pembiayaan termasuk pembiayaan campuran dan inovatif,” katanya pula.