Denpasar (ANTARA) - JPU Kejati Bali meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Denpasar menolak eksepsi yang diajukan oleh terdakwa mantan rektor Universitas Udayana Bali Prof. I Gede Nyoman Antara dan tim Penasihat Hukumnya karena sudah masuk pokok perkara.
Hal itu disampaikan Jaksa Dino Kriesmiardi, I Nengah Astawa, Agung Gede Lee Wisnu dan kawan-kawan dalam lanjutan sidang kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) Unud jalur mandiri di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (9/11) dengan agenda jawaban dari Penuntut Umum atas nota pembelaan yang diajukan tdrdakwa Prof. Antara.
"Kami Jaksa Penuntut Umum memohon agar Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar yang memeriksa dan mengadili perkara ini menolak dan menyatakan tidak dapat diterima keberatan baik dari Terdakwa maupun dari Tim Penasihat Hukum Terdakwa untuk seluruhnya," kata Dino di muka persidangan.
Di hadapan majelis hakim pimpinan Agus Akhyudi, Jaksa mengatakan nota keberatan Tim Penasihat Hukum Terdakwa yang mengemukakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar tidak berwenang mengadili objek perkara karena yang diuraikan Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan bukanlah tindak pidana korupsi melainkan seolah-olah tindak pidana umum yang merupakan kewenangan pengadilan umum, adalah alasan keberatan yang sangat tidak mendasar dan harus ditolak.
JPU menilai alasan yang dikemukakan oleh Tim Penasihat Hukum Terdakwa adalah sebuah kemunduran dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Hal tersebut beralasan karena dalam konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus.
"Demikian pula dalam perkara a quo yang kami ajukan dalam persidangan ini adalah suatu perbuatan yang sistematis, terorganisir, merugikan keuangan negara dan telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, dalam hal ini masyarakat yang ingin menuntut ilmu menjadi mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi negeri terbaik dan terbesar di Pulau Dewata, yang harapannya akan dapat membawa perubahan positif bagi bangsa dan negara," kata Jaksa.
Oleh sebab itu, penyelesaian perkara a quo sudah tepat dilakukan melalui instrumen pengadilan tindak pidana korupsi.
Selain alasan itu, subyek hukum dalam perkara a quo yakni terdakwa Prof Antara adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang mempunyai tugas dan kewenangan dalam menjalankan jabatannya sebagai Ketua Tim Penerimaan Mahasiswa Baru Jalur Mandiri Universitas Udayana tahun akademik 2018/2019 sampai dengan tahun akademik 2020/2021 maupun sebagai Rektor Universitas Udayana Periode tahun 2021-2025.
Merujuk pada fakta tersebut, maka JPU dalam persidangan menjerat terdakwa Prof. Antara dengan dakwaan alternatif subsidiaritas yang diantaranya yaitu dakwaan ketiga melanggar Pasal 9 Jo. Pasal 18 ayat 1 huruf a dan b Undang - Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Oleh karena sudah jelas perbuatan yang Penuntut Umum dakwakan terhadap Terdakwa adalah masuk dalam tipologi tindak pidana korupsi yaitu “pegawai negeri memalsukan buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi”, maka instrumen dalam persidangannya bukanlah melalui pidana umum biasa, akan tetapi melalui pengadilan tindak pidana korupsi.
Karena itu, beber Jaksa, alasan Tim Penasihat Hukum Terdakwa yang menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa temasuk dalam tindak pidana umum adalah alasan yang sangat tidak mendasar.
Selanjutnya, mengenai alasan tidak adanya keuntungan yang dinikmati oleh Terdakwa dan kerugian negara tidaklah tepat dijadikan alasan dalam eksepsi Tim Penasihat Hukum Terdakwa, karena menurut pendapat JPU, hal tersebut telah masuk dalam ranah pembuktian materi pokok perkara.
Oleh karena dalam dakwaan Penuntut Umum telah secara cermat, jelas dan lengkap diuraikan unsur memperkaya/menguntungkan diri Terdakwa maupun orang lain dan telah mencantumkan juga hasil perhitungan kerugian negara sebagaimana Laporan Akuntan Publik atas Pemeriksaan Investigatif Universitas Udayana Provinsi Bali Tahun 2018 sampai dengan 2022 yang dibuat oleh Kantor Akuntan Publik Made Sudarma, Thomas & Dewi, serta menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan, maka untuk selanjutnya perlu dilakukan pembuktian dalam persidangan.
"Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut di atas, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, oleh karena itu maka nota keberatan Tim Penasihat Hukum terkait kewenangan relatif yang disampaikannya tersebut harusnya dinyatakan ditolak," kata Dino.