Badung, Bali (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Bali menyasar edukasi kepada masyarakat hingga di desa untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang salah satu modus kejahatan itu menyalahgunakan teknologi dan media sosial dalam merekrut korban.
“Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kependudukan dan Catatan Sipil melakukan pengawasan pembuatan KTP karena terjadi biasanya manipulasi umur calon tenaga kerja mulai dari desa,” kata Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali Luh Ayu Aryani di sela konferensi soal TPPO di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Senin.
Ia mengharapkan edukasi itu dapat memberikan pemahaman sekaligus dapat menekan potensi terjadinya TPPO yang menyasar calon pekerja migran.
Menurut dia, berdasarkan data Mabes Polri, per Oktober 2023 tercatat ada 872 laporan kasus TPPO di Tanah Air.
Dari jumlah itu, 32 kasus di antaranya merupakan dugaan kasus TPPO yang diungkap melalui Bali.
“Dari 32 laporan kasus itu, dua orang merupakan warga Bali dan sisanya dari luar Bali yang hendak diberangkatkan melalui Bali,” imbuhnya.
Ada pun modus yang dilaporkan paling banyak dari 32 kasus itu yakni terkait pekerja migran Indonesia non prosedural di antaranya perusahaan rekrutmen yang tidak memiliki izin hingga kurangnya kelengkapan dokumen calon pekerja migran itu.
Ada pun strategi pencegahan TPPO di Bali, kata dia, Pemprov Bali membentuk gugus tugas yang berkoordinasi dengan pemangku kepentingan dan melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan TPPO.
Selain itu, kerja sama juga dilakukan dengan RSUD Bali Mandara, RS Trijata dan Dinas Kesehatan Provinsi Bali apabila ada korban TPPO yang membutuhkan rehabilitasi kesehatan.
“Kemudian rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi. Jika pemulangan korban TPPO itu berdasarkan surat rujukan dari kepolisian atau surat rujukan dari Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI), memulangkannya secara estafet,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri RI (Kemenlu), korban TPPO mengalami penahanan paspor, kontrak kerja yang tidak jelas, jam kerja berlebihan hingga kekerasan fisik dan verbal.
Sejak 2020, Kemenlu RI mencatat banyak WNI terjebak di perusahaan online scamming yang sebagian besar di kawasan Asia Tenggara dan mengalami eksploitasi.
Hingga Mei 2023, Kemenlu RI menangani 2.438 kasus WNI terjebak online scamming yang sekitar 50 persen atau 1.233 WNI di Kamboja.
Baca juga: Komnas HAM tak ingin ada impunitas bagi sindikat TPPO
Baca juga: Komnas HAM RI adakan konferensi berantas perdagangan orang di ASEAN