Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memastikan produksi sawit Indonesia tetap bertahan di tahun 2024 di tengah lambatnya pertumbuhan ekonomi global akibat dampak inflasi.
"Kami optimis produksi kelapa sawit nasional bisa bertahan di pasar global, baik memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun perdagangan ekspor," kata Anggota Dewan Penasehat Gapki Joko Supriyono dalam keterangan di Denpasar, Bali, Sabtu.
Gapki memproyeksikan kenaikan produksi sawit tahun ini sekitar 3,8 persen dan 2024 sekitar 4,9 persen, meski begitu tantangan di sektor perkebunan sawit masih tetap terjadi, diantaranya terkait aspek hukum dan keberlanjutan.
Produktivitas yang stagnan diakibatkan oleh besarnya jumlah tanaman belum menghasilkan yakni 1,5 juta hektare atau 91 persen dan tanaman menghasilkan atau mature sebesar 91 persen, namun 46 persen di antaranya telah memasuki penurunan produktivitas karena penuaan.
Joko Supriyono menjelaskan meningkatnya produksi kelapa sawit terjadi di tahun 2017 hingga 2019, seiring dengan adanya ekspansi lahan di awal tahun 2000-an, namun dalam perjalanannya di tahun 2020-2022 peningkatan volume tidak diiringi dengan peningkatan yield.
“Produksi tahun ini rata-rata 15 ton per hektare. Angka ini masih perlu digenjot supaya lebih maksimal," ujarnya dalam kegiatan Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Bali, Kamis (2/11/2023).
Lebih lanjut Joko menjelaskan secara aspek konsumsi mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahun. Konsumsi domestik meningkat sebesar 5 persen, karena adanya kebutuhan untuk program implementasi biodiesel yang meningkat sebesar 48 persen, lalu diikuti oleochemical sebesar 10 persen, dan pangan sebesar 5 persen.
“Tahun ini tercatat untuk pertama kalinya konsumsi biodiesel yakni sebesar 10,6 juta ton, lebih tinggi dari konsumsi pangan 10,3 juta ton," papar Joko.
Tahun ini menurut Gapki, kegiatan ekspor juga sudah mulai kembali normal ke berbagai negara di luar Uni Eropa seperti India, China dan Pakistan.
Sedangkan untuk ekspor ke Eropa mengalami tren penurunan sejak tahun 2015, disebabkan adanya kebijakan antidumping ekspor biodiesel, meski demikian sasaran pasar ekspor di Uni Eropa hingga saat ini sekitar 12 persen.
Ia menilai, tantangan industri kelapa sawit kian pelik, usia rata-rata tanaman yang sudah menua sehingga diperlukan penanaman kembali atau peremajaan sebagai upaya meningkatkan produktivitas tanaman di tengah keterbatasan lahan akibat moratorium.
"Meski fenomenanya demikian, kami harus mampu menciptakan langkah-langkah solutif, tentunya berkolaborasi dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan," ujarnya
Selain itu, kini industri yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia harus menghadapi persoalan tumpeng tindih kawasan hutan di tengah tuntutan keberlanjutan yang begitu besar.
"Kami optimis produksi kelapa sawit nasional bisa bertahan di pasar global, baik memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun perdagangan ekspor," kata Anggota Dewan Penasehat Gapki Joko Supriyono dalam keterangan di Denpasar, Bali, Sabtu.
Gapki memproyeksikan kenaikan produksi sawit tahun ini sekitar 3,8 persen dan 2024 sekitar 4,9 persen, meski begitu tantangan di sektor perkebunan sawit masih tetap terjadi, diantaranya terkait aspek hukum dan keberlanjutan.
Produktivitas yang stagnan diakibatkan oleh besarnya jumlah tanaman belum menghasilkan yakni 1,5 juta hektare atau 91 persen dan tanaman menghasilkan atau mature sebesar 91 persen, namun 46 persen di antaranya telah memasuki penurunan produktivitas karena penuaan.
Joko Supriyono menjelaskan meningkatnya produksi kelapa sawit terjadi di tahun 2017 hingga 2019, seiring dengan adanya ekspansi lahan di awal tahun 2000-an, namun dalam perjalanannya di tahun 2020-2022 peningkatan volume tidak diiringi dengan peningkatan yield.
“Produksi tahun ini rata-rata 15 ton per hektare. Angka ini masih perlu digenjot supaya lebih maksimal," ujarnya dalam kegiatan Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Bali, Kamis (2/11/2023).
Lebih lanjut Joko menjelaskan secara aspek konsumsi mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahun. Konsumsi domestik meningkat sebesar 5 persen, karena adanya kebutuhan untuk program implementasi biodiesel yang meningkat sebesar 48 persen, lalu diikuti oleochemical sebesar 10 persen, dan pangan sebesar 5 persen.
“Tahun ini tercatat untuk pertama kalinya konsumsi biodiesel yakni sebesar 10,6 juta ton, lebih tinggi dari konsumsi pangan 10,3 juta ton," papar Joko.
Tahun ini menurut Gapki, kegiatan ekspor juga sudah mulai kembali normal ke berbagai negara di luar Uni Eropa seperti India, China dan Pakistan.
Sedangkan untuk ekspor ke Eropa mengalami tren penurunan sejak tahun 2015, disebabkan adanya kebijakan antidumping ekspor biodiesel, meski demikian sasaran pasar ekspor di Uni Eropa hingga saat ini sekitar 12 persen.
Ia menilai, tantangan industri kelapa sawit kian pelik, usia rata-rata tanaman yang sudah menua sehingga diperlukan penanaman kembali atau peremajaan sebagai upaya meningkatkan produktivitas tanaman di tengah keterbatasan lahan akibat moratorium.
"Meski fenomenanya demikian, kami harus mampu menciptakan langkah-langkah solutif, tentunya berkolaborasi dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan," ujarnya
Selain itu, kini industri yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia harus menghadapi persoalan tumpeng tindih kawasan hutan di tengah tuntutan keberlanjutan yang begitu besar.
“Meningkatkan produksi untuk memenuhi program energi baru terbarukan B50/B100 serta memenuhi kebutuhan global adalah langkah yang harus diambil, Berbagai upaya peningkatan produktivitas tanaman maupun ekspansi harus menekankan aspek keberlanjutan supaya nilai produk kelapa sawit Indonesia diterima di pasar Internasional,” kata Joko.