Denpasar (ANTARA) - Siang itu, Marie Kubisch menyusuri satu per satu kolam penangkaran penyu di Pusat Konservasi dan Pendidikan Penyu (TCEC) di Desa Serangan, Denpasar, Bali.
Ia kemudian berhenti di ujung kolam, memperhatikan serius salah satu penyu lekang yang terlihat tak biasa.
Sembari mengerutkan kedua alisnya, dua bola mata biru wisatawan asal Jerman itu tiba-tiba tajam menatap penyu cacat itu karena kehilangan salah satu tungkainya.
Ada beberapa penyu di kolam tersebut yang bernasib sama, misalnya ada kerapas atau bagian punggung penyu yang mengalami kerusakan.
Sambil mendokumentasikan kondisi penyu-penyu malang itu melalui ponselnya, sesekali ia menyeka keringat yang membasahi dahinya karena cuaca panas di Denpasar kala itu.
Ia rela terbang jauh dari Hamburg menuju Bali untuk berlibur sekaligus khusus menengok penyu, satwa yang ia sayangi meski baru pertama kali menatap langsung, karena di negaranya belum ada fasilitas serupa.
Saking cintanya dengan penyu, wanita muda itu bahkan membuat tato penyu di dekat mata kaki kirinya sebagai filosofi ia mengingat satwa purba itu dan menemani kemana pun ia melangkah.
Marie menyadari bahwa di kolam itulah penyu tersebut dirawat setelah mengarungi kejamnya kehidupan, salah satunya atas ulah tangan usil manusia.
Tak hanya tempat perawatan, TCEC sesuai namanya juga sebagai pusat edukasi hingga pelatihan kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga hewan dilindungi itu dari ancaman kepunahan.
Baca juga: Polda Bali gagalkan penyelundupan penyu hijau di pesisir Gilimanuk
Upaya penyelamatan
Ketua Pengelola TCEC Serangan I Made Sukanta menjelaskan di kawasan konservasi dan pendidikan itu saat ini dihuni 21 ekor penyu berbagai ukuran yang berusia hingga 50 tahun ke atas.
Ada tiga jenis penyu yang dikonservasi yakni penyu hijau (Chelonia Mydas), penyu sisik (Eretmochelys Imbricata) dan penyu lekang (Lepidochelys Olivacea) yang tersebar di 18 kolam air laut pada lahan TCEC seluas sekitar satu hektare itu.
Sebagian besar penyu tersebut merupakan penyu sitaan dari kepolisian yang selama 2023 tercatat ada tiga kasus penangkapan pelaku perdagangan satwa dilindungi itu, selain juga ada penyu yang diselamatkan atau penyu terdampar
Selain itu, di TCEC Serangan juga ada tempat penetasan telur penyu. Setidaknya ada sekitar 15 sarang telur penyu yang siap menetas menjadi tukik atau bayi penyu.
Nantinya, ketika tukik dan penyu yang sebelumnya diselamatkan kemudian dinilai sudah sehat, maka akan dilepasliarkan di sekitar perairan Desa Serangan.
Ada 13 orang petugas dalam tim konservasi penyu, didukung dokter hewan salah satunya dari Universitas Udayana dalam memeriksa kesehatan penyu.
Dalam sehari, petugas itu bertanggung jawab memberikan dua kali makan kepada penyu yakni rumput laut untuk penyu hijau, sedangkan penyu lekang dan penyu sisik pakannya berupa ikan lemuru.
Pemerintah Indonesia menetapkan semua jenis penyu terancam punah dan dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999.
Peraturan itu melarang setiap perdagangan penyu hidup atau mati termasuk bagian-bagiannya.
Untuk mengatasi perdagangan penyu, Pemerintah Provinsi Bali, Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, organisasi non-pemerintah WWF Indonesia dan masyarakat Desa Serangan memprakarsai pembangunan TCEC Serangan yang diresmikan pada 20 Januari 2006.
Selain menjadi pusat edukasi, dan konservasi, TCEC juga menjadi ekowisata dan riset penyu.
Uluran bantuan
Upaya konservasi penyu itu juga tidak terlepas dari uluran bantuan, termasuk dari PT Pertamina melalui anak usahanya Pertamina Patra Niaga wilayah Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara yang memberikan dukungan untuk keberlanjutan penyu.
Melalui unit operasi Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) Sanggaran, Denpasar, yang berada tak jauh dari Desa Serangan, sejak 2016 memberikan bantuan pakan, pemantauan dan penyelamatan hingga bantuan kendaraan ambulans dan motor pengangkut sampah.
Perwakilan Terminal BBM Sanggaran Denpasar Dhita Utami menjelaskan mengingat pentingnya konservasi penyu, maka pihaknya menyusun peta jalan konservasi penyu 2019-2024 yang menekankan pemberdayaan masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian penyu, sekaligus pelatihan konservasi dan membuat kerajinan berbentuk penyu.
Dukungan pun dikucurkan lebih luas dan berkelanjutan di antaranya pakan penyu, perawatan kesehatan, peralatan laboratorium termasuk alat USG penyu hingga renovasi fasilitas TCEC Serangan.
Pasalnya, untuk pakan penyu, TCEC Serangan mengeluarkan biaya hingga Rp4 juta per bulan untuk mencukupi kebutuhan perut penyu yang dibeli dari nelayan desa setempat.
Terkadang, anggaran itu bisa membengkak ketika mendapatkan titipan penyu hasil sitaan kepolisian.
Selain itu, BUMN tersebut menyuguhkan sentuhan inovasi energi baru terbarukan di antaranya pemasangan energi surya atau solar panel sebanyak 10 unit dengan kapasitas sekitar 3 kilowatt peak (kwp).
Energi surya itu digunakan untuk menghidupkan dua mesin pompa air untuk mencukupi operasional harian.
Khusus untuk kebutuhan listrik, TCEC Serangan dapat menghemat hingga 20 persen setelah menggunakan energi surya itu dari rata-rata tagihan listrik per bulan mencapai Rp4 juta hingga Rp5 juta per bulan.
Program itu sangat membantu keuangan pusat konservasi dan edukasi itu karena selama ini pemasukan mengandalkan donasi sukarela dari pengunjung.
TCEC Serangan baru memungut tiket masuk apabila kunjungan grup dalam jumlah besar dengan harga tiket untuk wisatawan asing Rp75 ribu dan wisatawan domestik Rp25 ribu per orang.
Rata-rata jumlah kunjungan per hari mencapai sekitar 100-300 orang yang sebagian besar merupakan kunjungan non grup.
Meski begitu, masih ada satu fasilitas yang belum melengkapi TCEC Serangan yakni ruangan klinik untuk operasi penyu.
Baca juga: Pertamina sisihkan dana sosial untuk konservasi penyu di Serangan
Penyu “mudik”
Upaya konservasi penyu di Desa Serangan betul-betul membuahkan hasil positif setelah dilakukan pemberdayaan yang melibatkan partisipasi masyarakat pesisir, termasuk juga dari pelaku pariwisata setempat yang ikut melakukan pemantauan mendukung TCEC Serangan.
Desa Serangan yang berjarak sekitar 11 kilometer dari pusat kota Denpasar itu sebelumnya berbentuk pulau, namun sekitar tahun 1996 terhubung langsung dengan daratan Bali Selatan setelah melalui proses reklamasi.
Pengurukan tanah di sebagian pulau mungil itu pun sempat dikhawatirkan mengancam keberadaan penyu, mengingat daerah itu merupakan salah satu habitat alami penyu.
Setelah adanya upaya konservasi secara holistik, satu per satu penyu kembali singgah di pesisir Serangan.
Ketua Pengelola TCEC Serangan I Made Sukanta mengungkapkan pada periode 2008-2009 ditemukan sarang penyu namun masih di bawah lima sarang.
Kemudian penemuan sarang penyu oleh tim pemantau itu mulai meningkat pada 2022 mencapai 40 sarang penyu dan pada Januari hingga Oktober 2023 jumlahnya meningkat signifikan yakni ditemukan 63 sarang berisi telur penyu dengan tiga jenis penyu sekaligus yakni penyu hijau, sisik dan lekang.
Satu sarang itu terdapat hingga 120 telur penyu, namun yang selamat dan menjadi tukik sekitar 70-80 persen.
Ada pun pemantauan dilakukan menyesuaikan dengan musim. Misalnya periode Mei-Juli merupakan periode penyu bertelur, sehingga pemantauan dilakukan setiap hari di pesisir Serangan.
Sementara itu, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali Agus Budi Santoso mengungkapkan selain didukung upaya konservasi, kembalinya penyu di pesisir Serangan juga didukung kondisi perairan lebih baik.
Penyu merupakan satwa yang sensitif karena jika situasi lingkungan tidak mendukung, maka mereka enggan untuk singgah apalagi untuk bertelur yang per tahun, satu penyu bisa bertelur tiga hingga empat kali.
Selain kondisi perairan, penyu nyaman bertelur menyesuaikan kondisi pasir, tingkat kemiringan atau jarak dari bibir pantai, dan suhu.
Upaya konservasi satwa langka itu perlu terus dilakukan secara berkelanjutan, begitu juga partisipasi dan kesadaran masyarakat perlu terus ditumbuhkan untuk menjaga kelestarian penyu yang kini pulang kembali.
Perlu tangan-tangan baik untuk mendukung upaya menjaga penyu dari bahaya kepunahan yang bisa dimulai dari konservasi di Desa Serangan, Denpasar, Bali.