Denpasar (ANTARA) - Produksi tuna sirip biru selatan atau southern bluefin tuna (SBT) di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, merupakan yang terbesar di Tanah Air.
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan, Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP), melalui Pos Pelayanan Kapal Perikanan di Benoa mencatat selama 2022, total volume tangkapan ikan tuna sirip biru selatan mencapai 770,4 ton dengan kalkulasi nilai produksi mencapai Rp21,5 miliar.
Sementara selama semester I-2023, volume produksi tuna dengan nama latin Thunnus maccoyii itu mencapai 281,3 ton dengan nilai produksi mencapai Rp8,6 miliar.
Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Bali mencatat rata-rata produksi tuna sirip biru selatan di Pulau Dewata mencapai hingga 1.000 ton per tahun, dari total kuota nasional mencapai 1.123 ton per tahun untuk 2021-2023.
Sekretariat Jenderal ATLI Bali mencatat seluruh tangkapan tuna sirip biru selatan diberikan label dan hasil tangkapan itu dilaporkan juga kepada organisasi.
Organisasi antarpemerintah yang mengatur terkait kuota penangkapan tuna sirip biru selatan adalah Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan atau Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang bermarkas di Canberra, Australia.
Penerapan kuota tersebut untuk menjaga keberlanjutan konservasi tuna sirip biru selatan yang diperkirakan populasinya sudah mulai berkurang.
CCSBT menyebutkan penangkapan yang masif hingga 80 ribu ton per tahun pada awal 1960-an membuat penurunan signifikan jumlah ikan tuna sirip biru selatan yang berumur dewasa.
Karakteristik SBT
Tuna sirip biru selatan memiliki ukuran panjang berpotensi lebih dari dua meter, dengan berat mencapai lebih dari 200 kilogram.
Ia memiliki karakteristik sebagai perenang yang cepat di laut lepas, dengan kecepatan rata-rata mencapai sekitar 2-3 kilometer per jam.
Jenis tuna ini banyak ditemukan di perairan Bumi bagian selatan atau di Samudera Hindia.
CCSBT memetakan tuna sirip biru selatan hanya berkembang biak di satu lokasi, yakni di perairan sebelah tenggara Pulau Jawa, yakni di selatan Jawa-Bali yang biasanya terjadi pada periode September hingga April dalam kondisi perairan yang hangat.
Tuna sirip biru selatan yang masih muda biasanya bermigrasi ke selatan di barat Australia. Kemudian selama periode Desember-April biasanya jenis ikan tuna itu berkumpul di permukaan di perairan selatan Australia.
Tuna sirip biru selatan memiliki nilai pasar yang tinggi karena memiliki daging yang tinggi lemak, sehingga mendorong harga premium, khususnya di pasar Jepang.
Bahkan pada awal 2020, seekor tuna sirip biru selatan berbobot 276 kilogram terjual Rp25 miliar pada lelang di Pasar Ikan Toyosu, Tokyo, Jepang.
Nilai tambah SBT
Operasional penangkapan tuna di Pelabuhan Benoa Denpasar dilayani oleh kapal ikan, dengan volume di atas 30 Gross Tonage (GT) yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 573 dari jarak 12-200 mil hingga laut lepas atau Samudera Hindia di selatan Bali.
Ada empat jenis ikan tuna yang menjadi target tangkapan para nelayan, yakni tuna sirip kuning yang menjadi tangkapan mayoritas, kemudian tuna sirip biru, tuna mata besar dan tuna albakora.
Dari empat jenis itu, tuna sirip biru selatan dinilai memiliki kualitas kelas A atau nomor wahid karena memiliki daging yang lebih baik, juga kandungan protein yang tinggi, dibandingkan jenis tuna lainnya.
Hanya saja, tuna sirip biru selatan lebih rentan membusuk, yang menyesuaikan pengelolaan atau penyimpanan selama perjalanan laut menuju pelabuhan.
Rata-rata hasil tangkapan tuna yang dikumpulkan di Pelabuhan Benoa, Denpasar, lebih segar karena langsung dibawa dari Samudera Hindia.
Di sisi lain, penangkapan tuna sirip biru selatan memiliki pembatasan berupa kuota yang ketat, namun bukan tidak mungkin optimalisasi nilai ekonomi komoditas premium itu bisa dilakukan.
Menurut Ketua Program Peningkatan Perikanan Tuna (FIP) Dwi Agus Siswa Putra, saat ini Indonesia mengejar sertifikasi dari lembaga non-profit, Marine Stewardship Council (MSC).
Sertifikasi MSC merupakan sertifikasi tertinggi setelah kualitas A, yang menandakan pengelolaan dilakukan secara berkelanjutan dan bebas dari penangkapan ilegal (IUU Fishing).
Sebelumnya, pada 2022 tuna sirip biru selatan dari Indonesia mengantongi kualitas kelas A sehingga menjadi modal untuk meraih sertifikasi MSC.
Dengan label sertifikat itu, diharapkan Indonesia menjadi tujuan perdagangan tuna sirip biru selatan, sehingga menambah nilai ekonomi lebih tinggi.
Pelaporan yang baik dari setiap penangkapan tuna sesuai kuota yang ditetapkan, serta kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban, menjadi kunci untuk meraih label tersebut.
Penangkapan tuna sirip biru selatan sempat melebihi kuota sekitar 200 ton, sehingga hasil penangkapan selanjutnya harus dipotong dan juga dilaporkan jujur.
Kejujuran dalam pelaporan itu dinilai menjadi nilai plus dalam proposal penambahan kuota penangkapan.
Pelaporan dan kepatuhan itu pun dapat menjadi modal pemerintah, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dalam mengajukan upaya penambahan kuota penangkapan tuna sirip biru selatan.
Negosiasi kuota SBT
Dalam sidang Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT) pada 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan Indonesia mendapatkan penambahan 100 ton kuota penangkapan tuna sirip biru selatan menjadi 1.123 ton per tahun selama 2021-2023.
Kuota itu meningkat jika dibandingkan kuota per tahun selama 2015-2017 yang hanya 750 ton dan pada 2018-2020 mencapai 1.023 ton.
Indonesia masuk menjadi anggota komisi pada 2008 melalui Perpres Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna.
Selain RI, anggota komisi lainnya adalah Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, serta Uni Eropa dan entitas perikanan Taiwan.
Kementerian KKP berupaya melakukan negosiasi untuk menambah kuota penangkapan tuna sirip biru selatan yang rencananya dibahas dalam pertemuan CCSBT di Busan, Korea Selatan, 9-12 Oktober 2023.
Penambahan kuota itu untuk memberikan keadilan karena selama 2021-2023, Australia mendapatkan kuota penangkapan lebih besar, yakni mencapai 6.238 ton per tahun.
Begitu juga Jepang mencapai 6.197 ton, Korea Selatan sebanyak 1.256 ton dan entitas perikanan Taiwan sebesar 1.256 ton per tahun dari total penangkapan tuna sirip biru selatan yang diizinkan (TAC).
Total pembatasan penangkapan tuna sirip biru selatan pada 2021-2023 mencapai hingga 17.647 ton, sedangkan komite di komisi itu merekomendasikan 3.000 penambahan kuota penangkapan tuna sirip biru selatan menjadi sebesar 20.647 ton per tahun untuk 2024-2026.
Kontribusi Bali
Sebagian besar penangkapan tuna, umumnya beroperasi di wilayah Samudera Hindia, dengan produksi tuna dan cakalang Indonesia mencapai 790 ribu ton, dengan nilai mencapai Rp22 triliun, berdasarkan data KKP pada 2021.
Sementara jumlah ekspor komoditas itu mencapai 174 ribu ton, dengan nilai 732 juta dolar AS atau lebih dari Rp10,6 triliun.
Ekspor ikan tuna Indonesia diserap pasar Amerika Serikat, Jepang, Thailand, Arab Saudi, Uni Eropa, Australia, Vietnam, Inggris, dan Filipina.
Pemperov Bali mencatat, meskipun wilayah itu kecil, namun berkontribusi besar di sektor perikanan tangkap Indonesia, khususnya produksi tuna, tongkol, dan cakalang.
Pangkalan perikanan tuna di Pelabuhan Benoa, dengan armada kapal penangkapan ikan mencapai 762 unit kapal.
Secara umum, produksi ikan tongkol, cakalang, dan tuna di Benoa, termasuk di dalamnya sirip biru selatan, pada 2021 mendekati 52 ribu ton.
Tak hanya dari sektor hulu, di sektor hilir industri perikanan di Bali didukung oleh 75 unit pengolahan ikan skala besar dan menengah yang berorientasi ekspor.
Volume ekspor perikanan secara umum berdasarkan data Pemerintah Provinsi Bali pada 2021 mencapai 27 ribu ton, dengan nilai ekspor mencapai 137 juta dolar AS.
Sementara volume ekspor perikanan secara umum pada 2022 mencapai 26 ribu ton dengan nilai ekspor juga mencapai 137 juta dolar AS.
Mencermati posisinya yang strategis, Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dan konsistensi untuk mendukung konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan tuna, termasuk tuna sirip biru selatan, yang bernilai ekonomi tinggi.
Nilai ekonomi dari perdagangan produk perikanan tuna Indonesia dapat terus dimanfaatkan dengan tetap mengedepankan aspek keberlanjutan.