Denpasar (ANTARA) - Karya batik dari Ni Made Gadis Putri Maharani tampak sederhana tapi dibuat untuk mewakili perjuangan perempuan Bali yang merasa tidak memiliki posisi yang layak dalam sebuah rumah tangga atau keluarga.
Karya perempuan muda berusia 22 tahun itu digelar dalam pameran solo berisi 14 karya batik, dengan yang paling diandalkan adalah karya berjudul PeriBumi, yaitu delapan lembar kain ungu berisi keluh kesah perempuan Bali.
“Karya PeriBumi bertuliskan pengalaman atau kisah nyata yang dialami oleh beberapa perempuan Bali yang saya visualisasikan menjadi karya kain batik agar mudah untuk dibaca dan disampaikan kepada publik,” katanya di Denpasar, Bali.
Delapan lembar kain itu merupakan isi hati yang dituangkan oleh 16 perempuan Bali mulai dari remaja, ibu-ibu, hingga korban yang ditangani LBH Bali Women Crisis Center.
Ketika membaca satu per satu masalah ketidakadilan bahkan kekerasan yang mereka rasakan, pengunjung akan hanyut dalam bayangan betapa beratnya perjuangan mereka selama ini.
Selain isu mengenai perempuan Bali, Gadis juga ingin mengenalkan kain tradisional batik ke masyarakat, sehingga pameran ini hadir dengan beragam karya dan teknik pembuatan.
Pameran yang diselenggarakan di Gedung Dharma Negara Alaya, Denpasar, sejak Jumat (21/7), itu mengangkat tema Masa ke Masa, sebagai bentuk penghargaan Gadis terhadap ide dan kreativitasnya dari awal mengenal batik hingga saat ini.
Mulanya, perempuan asal Tabanan ini kerap melihat pakaian batik milik orang tuanya, saat itu tahun 2019, dan ia berpikir jika ingin mendalami batik maka dia harus pergi belajar ke luar, ke tempat dia bisa dengan leluasa mengenal dan mendalami batik.
Akhirnya ia melanjutkan pendidikan di Yogyakarta, dan lulus dengan karya tugas akhir berjudul Representasi Motif Pendukung Lukisan Kamasan Kertha Gosa, yang sekaligus dipajang selama pameran.
Beberapa tahun terakhir, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengimplementasikan ilmunya di bidang batik dan busana, bahkan sejak 2020 ia berhasil menjual karyanya satu per satu.
Pada pameran perdananya yang dibuka untuk umum dan gratis dari pukul 11.00-20.00 Wita itu, Gadis membawa karya batik dengan teknik pewarnaan celup dan colet atau lukis yang pernah ia pelajari.
Masing-masing karya memiliki tingkat kesulitan berbeda, dan dibuat paling singkat dua minggu dan paling lama enam bulan.
Karya tugas akhirnya tadi menurut dia yang paling sulit tingkat pembuatannya, yang merupakan perpaduan antara teknik colet dan celup dengan pengolesan warna tiap motif bisa 10 sampai 15 kali oles.
Dari pameran Masa ke Masa ia ingin pengunjung mengetahui bermacam-macam keunikan teknik atau proses pembuatan karya batik. Ditambah setiap karya memiliki pesan, seperti ingin menyampaikan keluh kesah perempuan atas keadilan dan kesetaraan.
Perempuan dalam karya
Tidak hanya pada karya berjudul PeriBumi, Gadis juga berusaha mengenalkan perjuangan perempuan Bali dalam sejumlah karya.
Ketika masuk ke gedung pameran karya batik dari Made Gadis di Dharma Negara Alaya, pengunjung pertama kali akan disambut dengan busana outer bernama Wujud Laut.
Gadis menggunakan warna ungu sebagai dasar, yang memberi tanda bahwa ada sesuatu yang diperjuangkan.
Dalam peringatan Hari Perempuan Internasional, warna ini dimaknai sebagai tanda tindak keadilan dan martabat, serta setia terhadap tujuan.
Busana luaran ini mengambil rupa dari ubur-ubur, hewan yang hidupnya dapat mencapai 500 tahun namun tetap cantik dan lembut.
Selanjutnya karya batik Seni dalam Persembahan, yang menggunakan teknik colet, celup, dan batik tulis, dengan hasil akhir memperlihatkan perempuan Bali yang sedang memegang gebogan, atau persembahan berisi buah berbentuk piramida yang umumnya dijunjung di atas kepala.
Kemudian Impresi, masih dengan warna dominan ungu, karya batik satu ini memanfaatkan daun ental yang dirangkai oleh ibu-ibu yang diberdayakan oleh LBH Bali Women Crisis Center.
Karya ini dibentuk menjadi gegantungan atau sarana upakara bagi umat Hindu di Bali yang biasanya dijahit para perempuan, namun pada pameran ini Gadis menyematkan cermin agar pengunjung dapat memaknai sendiri apa yang pertama kali mereka lihat di depan cermin.
Melanjutkan langkah di ruang pameran, pengunjung akan menemui karya berjudul Setara, jelas digambarkan oleh Gadis bagaimana sosok perempuan Bali dengan pakaian adat yang sedang menjunjung timbangan di atas kepala.
Timbangan identik dengan representasi dari keadilan, sehingga pada karya batik tersebut disampaikan bahwa perempuan Bali sedang memperjuangkan kesetaraan.
Karya yang menampilkan sosok perempuan Bali tak hanya didominasi oleh kain ungu, seperti karya berjudul Tiga Rupa yang justru didominasi oleh warna kecoklatan.
Dengan teknik celup dan batik tulis, Gadis melukiskan tiga sosok perempuan Bali untuk menunjukkan keberagaman dan kondisi dari masa ke masa.
Dengan seluruh hasil karyanya, ia berharap perempuan Bali dapat mengatasi keluh kesahnya, sehingga mereka dapat bebas berkarya dan mengekspresikan diri.
“Dan berharap juga agar kaum perempuan dan laki laki memiliki kedudukan yang sama dan mendapatkan keadilan dalam memenuhi hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan sebagai seorang perempuan,” ujarnya.
Ia juga ingin pengunjung yang hadir lebih peka dengan isu sosial yang terjadi, serta tentunya mengenal proses penciptaan kain batik.
Niat baik perempuan asli Bali ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah yang terlihat dari pembukaan pameran yang dipimpin oleh istri Wakil Gubernur Bali Tjokorda Istri Putri Hariyani Sukawati yang diwakilkan oleh Sekretaris Forum PUSPA Bali.
Selain itu dukungan juga dapat dilihat langsung oleh pengunjung, yaitu berupa izin lokasi kegiatan yang meminjam ruang kreativitas Dharma Negara Alaya, serta dukungan dari LBH Bali Woman Crisis Center dan Gurat Art Project yaitu Ni Wayan Penawati selaku kurator.