Badung (ANTARA) - Karya seni lukis kontemporer milik maestro Bali almarhum Made Wianta dijadikan pemantik ekosistem seni melalui gelaran pameran di kawasan Jimbaran, Kabupaten Badung.
“Diadakannya acara ini untuk memberi semangat baru ekosistem seni di Bali, supaya 'bangun'. Kedua, mengangkat Made Wianta sebagai maestro untuk dunia, seniman jenius asal Bali,” kata Agung Prianta, salah satu penggagas pameran di Badung, Senin.
Dalam pameran yang berlangsung hingga 30 Juni 2023 di Locca Sea House ini dihadirkan 39 karya lukisan, dengan fokus pada karya berjudul The Mystery of Flying Triangle.
Baca juga: Mangku Pastika kagumi "resep di atas kanvas" Bagus Darmayasa
Karya Made Wianta yang diperkirakan dibuat sekitar 1-2 bulan ini menampilkan beberapa bidang segitiga melayang yang apabila dilihat dari lokasi yang lebih tinggi akan nampak seperti penikmatnya sedang berada dalam lukisan tersebut.
Selain sebagai pemantik ekosistem seni di Bali, Agung Prianta yang merupakan CEO Jimbaran Hijau itu juga ingin mengangkat kawasan Jimbaran sebagai destinasi seni di Bali.
“Saya ingin memberi semangat seniman-seniman muda di Bali supaya lebih berkarya, jadi sudah waktunya bangun semangat baru dan produktif. Untuk menjadikan Jimbaran destinasi seni kami mengajak pemerintah, kami selalu update apa yang kami lakukan dengan pemerintah kabupaten dan provinsi,” ujarnya.
Kekuatan dari karya-karya yang menginspirasi dari almarhum Made Wianta turut diakui oleh seniman senior Prof I Made Bandem yang dahulu merupakan guru seninya.
Prof Bandem bercerita jauh sebelum Made Wianta tutup usia di tahun 2020, ia sempat mengambil kelas konservatori karawitan, namun setelah tiga bulan ia menyadari bahwa bakatnya tak sepenuhnya di seni tersebut.
Akhirnya pemilik lukisan Flying Triangle itu mengikuti kelas visual hingga pindah ke Yogyakarta.
“Tahun 1994 kampus kami, Sekolah Tinggi Seni Indonesia mendapat hibah komputer untuk melukis yang diberikan oleh Jepang, setelah penyerahan saya undang mereka, dan mereka kagum melihat satu lukisan matahari tenggelam dengan sinar dan titik-titik yang dibuat Wianta,” tuturnya.
Berkat lukisan tersebut, Made Wianta diajak menggelar pameran di pusat kota Tokyo dengan membawa 80 karya yang terbagi dalam enam periode pada tahun 1998.
Baca juga: Menikmati lukisan jejak karya Ngurah Gede Pemecutan di Bali
Wianta diibaratkan seperti Pablo Picasso-nya Indonesia, lantaran menghasilkan banyak periode lukisan dan dibuat sejak lama bak membaca masa depan.
Tak berhenti di sana, Prof Bandem bercerita bahwa pada tahun 2009, dunia kembali ingin melihat karya Wianta, dan sejak saat itu karya Flying Triangle menjadi yang paling disenangi para kurator.
Selain Prof Bandem, Mantan Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru Tantowi Yahya juga terlihat menikmati karya-karya Made Wianta dalam sesi pembukaan pameran tersebut.