Denpasar (ANTARA) - Pulau Bali merupakan salah satu destinasi wisata dunia yang kental dengan unsur tradisi, budaya, dan keindahan alamnya. Berbagai objek wisata terdapat di Pulau Dewata ini. Salah satunya adalah Museum Lukisan Sidik Jari Ngurah Gede Pemecutan yang berlokasi di Kota Denpasar, Bali.
Museum tersebut dibangun pada tahun 1993. Museum ini diresmikan untuk umum pada tahun 1995 oleh I Gusti Gede Ngurah Rai Pemecutan selaku pemilik dan pelukisnya . Museum ini memajang ratusan koleksi lukisan yang memiliki keunikan dalam teknik melukisnya.
Teknik melukis yang unik menjadi ciri khas koleksi museum ini. Teknik melukisnya menggunakan ujung jari yang diolesi cat minyak berbagai warna sebagai alat, serta kanvas sebagai media lukis. Teknik yang pertama kali ditemukan pada 9 April 1967 itu dalam istilah seni lukis disebut sebagai pointilis.
”Awal saya melukis menggunakan jari, karena jengkel sekali diolok-olok kawan dan lukisan yang saya kerjakan tidak kunjung selesai. Akhirnya, saya mencoret-coret lukisan itu dengan jari saya. Tapi setelah diperhatikan kok bagus juga, akhirnya saya lanjutkan dan tari baris menjadi lukisan sidik jari pertama saya,” kata Ngurah.
Penggunaan cat minyak pada ujung jari yang dioleskan di atas kanvas akan meninggalkan titik-titik warna yang membentuk satu kesatuan lukisan. Lukisan yang dihasilkan lebih orisinil. Hal tersebut membuat hasil karyanya dikenal dengan sebutan lukisan sidik jari.
“Lukisan ini dibuat menggunakan jari, dan lukisan sidik jari sulit dipalsukan karena semua manusia, setiap orang mempunyai sidik jari yang autentik dan beda-beda,” kata seniman yang merupakan mantan anggota pengurus Himpunan Museum Bali (HIMUSBA) ini.
Bagi penikmat seni, terutama seni lukis, teknik lukis dengan sidik jari dapat memberikan hasil karya yang berbeda nuansa, karena memiliki nilai seni tersendiri, dan akan sulit ditemukan dari seniman lainnya yang pada umumnya menggunakan kuas sebagai alat untuk melukisnya.
Impian sedari kecil
Sedari kelas 4 SD, Ngurah memiliki cita-cita menjadi seorang seniman lukis dan mendirikan museum sendiri. Impian tersebut akhirnya terwujud pada tahun 1970 setelah ia membeli tanah seluas 1.800 meter persegi untuk dibangun sebagai sebuah museum.
Museum yang berlokasi di Jalan Hayam Wuruk Nomor 175, Tanjung Bungkak, Kota Denpasar, tersebut diurus dan dikelola sendiri oleh keluarga Ngurah.
Terhitung dari tahun 1967 dan berhenti berkarya pada tahun 2010 dikarenakan kondisi fisik yang mulai kurang sehat dan tidak stabil, Ngurah telah menghasilkan berbagai lukisan sidik jari hingga mencapai 666 buah. Namun kini yang tersisa di museum tersebut hanya berkisar 200-an lukisan karena ada beberapa yang telah laku terjual dan menjadi koleksi orang lain.
Atas karya-karyanya tersebut, Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) memberikan penghargaan sebagai pelopor teknik melukis dengan sidik jari sebanyak 1.507.725 sidik jari di atas kanvas. Penghargaan MURI tersebut di berikan kepada I Gusti Gede Ngurah Rai Pemecutan pada bulan Juli 2012 di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Lukisan yang dipajang di dalam museum sebagian besar menggambarkan tradisi dan kebudayaan masyarakat Bali. Salah satu lukisan yang terkenal di museum ini adalah lukisan Perang Puputan Badung yang terjadi pada 20 September 1906. Lukisan tersebut menggambarkan suasana terjadinya pertempuran Kerajaan Badung yang dipimpin Raja Pemecutan melawan tentara Belanda. Pada akhir pertempuran, seluruh pasukan Raja Pemecutan gugur dan yang selamat hanya dua orang bayi, yang salah satunya adalah ayah sang pelukis, Anak Agung Gede Lanang Pemecutan dan menjadi pewaris trah bangsawan Pemecutan.
Selain itu, terdapat juga lukisan Adu Ayam “Tajen” yang merupakan rangkaian kegiatan dari upacara Dewa Yadnya. Lukisan tersebut memiliki arti bahwa dengan adanya tetesan darah yang menetes merupakan simbol untuk menyucikan umat manusia dari ketamakan terhadap duniawi.
Lebih lanjut Ngurah mengatakan durasi untuk mengerjakan satu buah lukisan berukuran 300 X 150 sentimeter adalah sekitar 16 bulan, sedangkan untuk lukisan kecil berukuran 55 X 75 sentimeter memakan waktu 1,5 bulan.
Menariknya, setiap lukisan yang dibuat oleh Ngurah selalu diberi tanda tangan di sudut kanan dan nomor lukisan di sudut kiri.
Ngurah mengungkapkan bahwa tidak ada teknik khusus dalam melukis dengan jari karena semua orang dapat mempelajari secara otodidak.
Tempat kursus penggiat seni
Selain sebagai seorang pelukis, Ngurah juga gemar membuat karya puisi yang memiliki makna mendalam. Karya puisi tersebut dituliskan melalui media batu sebagai sebagai pengganti kanvasnya. Karya tersebut juga turut dipajang di dalam Museum Lukisan Sidik Jari.
“Saya membuat karya puisi karena termotivasi oleh para anak muda yang tergabung dalam grup sahaja tahun 1960, mereka menggunakan lahan punya saya sebagai tempat belajar untuk berlatih membuat puisi sendiri. Akhirnya saya membuat puisi pertama saya yang berjudul Pengabdian,” kata seniman yang kini berusia 86 tahun itu.
Selain dijadikan sebagai museum, tempat ini juga membuka kursus bagi anak-anak muda yang memiliki ketertarikan dalam mengembangkan bakatnya pada bidang seni lukis, tari Bali, bahasa Bali, dan gamelan Bali yang dilatih oleh guru dari pihak eksternal museum. Namun selama adanya pandemi COVID-19 kegiatan kursus yang dikelola museum terpaksa ditutup karena adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kebijakan Masyarakat atau PPKM. .
“Sesudah pandemi COVID-19 mereda, per tanggal 1 Februari ini kursus saya buka kembali dan saya berharap kesehatan saya bisa pulih karena saya ingin kembali melukis,” ucapnya.
Untuk menikmati Museum Lukisan Sidik Jari yang merupakan tempat menyimpan jejak karya I Gusti Gede Ngurah Rai Pemecutan tersebut pengunjung hanya dikenakan tiket masuk secara sukarela. Museum buka setiap hari kecuali hari libur, mulai pukul 08.00 hingga 16.00 WITA .