Beijing (ANTARA) - Sejumlah rumah duka di Kota Shanghai, China, diisukan kewalahan melayani permintaan kremasi jenazah dalam beberapa hari terakhir saat kasus COVID-19 sedang melonjak.
Menurut informasi yang beredar luas secara daring, sejumlah rumah duka terpaksa mengkremasi dua atau lebih mayat dalam satu insinerator.
Otoritas Shanghai, yang dibantu aparat kepolisian setempat, bergerak untuk mengecek situasi di lapangan dan melakukan tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran.
Biro Urusan Sipil (CAB) Kota Shanghai dalam keterangan persnya, Minggu (1/1), memastikan bahwa pengoperasian peralatan pengabuan jenazah di sejumlah rumah duka sesuai standar nasional.
Standar itu, sebut CAB, satu insinerator untuk satu jenazah.
"Martabat mendiang dan keluarga tetap terjaga. Situasi seperti yang beredar di internet tidak pernah terjadi di rumah duka mana pun," demikian dinyatakan CAB.
Pihaknya mengakui jumlah kasus positif COVID-19 terus bertambah sehingga memicu peningkatan jumlah kematian di China.
CAB dan instansi terkait menyatakan telah bekerja keras untuk mengatur dan mengatasi pelanggaran di kalangan pelaku usaha kremasi, termasuk isu soal kewalahan dan tingginya tarif kremasi.
Sejak akhir Desember 2022, otoritas setempat telah menutup 23 laman kremasi dan menindak unit pelayanan kremasi abal-abal dan pekerjanya yang menyebarkan informasi palsu.
Menurut laporan media lokal, Kepolisian Shanghai telah membentuk satuan tugas khusus untuk melakukan tindakan pelanggaran terkait dengan pandemi dan bisnis pengabuan mayat.
Tiga broker kremasi dengan menaikkan tarif kremasi lebih dari 50 persen di Shanghai telah ditetapkan sebagai tersangka.
Beberapa hari sebelumnya, informasi juga marak soal banyak mayat yang tidak segera diabukan di pusat layanan kremasi Babaoshan, Kota Beijing.
Namun, pihak pengelola menyatakan keadaan itu terjadi lantaran banyak pekerjanya yang tidak masuk akibat mengalami gejala terinfeksi COVID-19.
Otoritas China telah mencabut berbagai pembatasan antipandemi COVID-19 secara bertahap mulai 7 Desember lalu.
Kebijakan pelonggaran tersebut diambil saat China sedang dilanda gelombang COVID-19, khususnya Omicron BF.7.