Denpasar (ANTARA) - Praktisi media I Gde Suyadnyana mengajak masyarakat Bali agar lebih bijaksana dalam memilah berita dan informasi untuk menghindari jebakan hoaks, di tengah peran media yang kini sudah menjauh dari "banyu bening".
"Jika ditelusuri, media massa pada awal kelahirannya memang seperti banyu bening atau air yang jernih," kata Suyadnyana saat menjadi narasumber dalam Widyatula (sarasehan) serangkaian Pesta Kesenian Bali ke-44 di Denpasar, Senin.
Sarasehan bertajuk "Desain dan Media, Penanda Banyu Bening" yang berlangsung secara daring itu juga menghadirkan narasumber Dr Pindi Setiawan (seorang ahli gambar cadas dan juga dosen Institut Teknologi Bandung).
Baca juga: #BijakBersosmed: Interaksi di medsos samakan dengan dunia nyata, jangan "privacy"
Suyadnyana yang telah 36 tahun bergelut di dunia jurnalistik ini mengatakan media sebagai penanda banyu bening, pada awalnya berita-berita yang disampaikannya murni tumbuh dari hati nurani dan idealisme sang wartawan (jurnalis) demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
"Begitu pun desain-desain yang ditampilkan media, khususnya media cetak dan elektronik terdahulu, masih sangat sederhana namun penuh makna," ujar pria yang juga Pemimpin Redaksi Harian Denpost itu.
Tetapi, lanjut dia, dalam perkembangan berikutnya, media justru menjadi lahan bisnis yang besar dan bahkan bisa menjadi lahan politik. Bahkan ada pemilik media juga mendirikan partai politik dan menjadi ketua parpol.
Baca juga: Kominfo: atasi hoaks, utamakan akurasi informasi daripada kecepatan
Media massa yang awalnya berupa media cetak dan elektronik, maka dengan kemajuan teknologi informasi, menjadi tergerus dengan kehadiran media online dan media sosial.
"Celakanya, sebagian warga kita lebih memilih membaca berita-berita media online yang tak teruji kebenarannya alias hoaks atau berita bohong," katanya.
Malah ada sebagian warga yang lebih tertarik menikmati berita atau video-video hoaks (setingan) dibandingkan berita sungguhan, karena menganggap berita bohong itu adalah hiburan semata atau sebagai bahan lucu-lucuan, sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
"Bahkan sebagian dipakai untuk propaganda, menyebar fitnah atau mendiskreditkan orang-orang tertentu," ujar Suyadnyana.
Tak heran jika belakangan ini banyak muncul kasus-kasus pelanggaran UU ITE hingga berujung pengadilan dan pemenjeraan.
Suyadnyana menambahkan, meskipun media online begitu berkembang pesat, namun bagi sebagian orang khususnya kaum intelektual dan orang-orang tua, masih tetap percaya dengan media cetak (surat kabar) karena menganggap media cetaklah masih kredibel dan patut dipercaya.
Baca juga: Pancasila di tengah nasionalisme era digital
Tak hanya media cetak, media online pun sudah banyak yang punya izin dan diverifikasi Dewan Pers sehingga layak dipercaya masyarakat. Berita-berita, foto maupun video/film yang mereka sajikan memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik.
"Menghindari kegaduhan atau kekisruhan di masyarakat, saatnya masyarakat Indonesia, khususnya Bali, lebih cerdas memilih media yang kredibel. Lebih baik kita membaca berita-berita yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain," katanya.
Sebaliknya, berita-berita hoaks dan setingan justru akan menimbulkan suasana tidak nyaman, sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat luas.
Sedangkan bagi media massa, kepercayaan atau citra yang baik sangat menentukan keberlangsungan media itu sendiri. Jika dipercaya masyarakat luas (tanpa ada berita hoaks) dan citranya sangat baik, maka media itu bakal tetap eksis mengikuti perkembangan zaman.
"Sebaliknya media yang menyajikan berita-berita bohong dan merugikan masyarakat, pasti akan ditinggalkan pembaca, pendengar, atau pemirsanya," kata pria asal Kabupaten Tabanan, Bali itu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Praktisi media ajak masyarakat Bali bijak memilah informasi
Praktisi media ajak masyarakat Bali bijak memilah informasi untuk hindari hoaks
Senin, 4 Juli 2022 15:46 WIB