Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengatakan larangan ekspor energi baru terbarukan itu sama seperti kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara dan minyak goreng yang mengharuskan badan usaha memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu.
"Kita sebagai negara yang mandiri harus memprioritaskan kebutuhan dalam negeri daripada kebutuhan negara lain, tapi bukan berarti kita anti asing. Tetap kita lakukan seperti yang kita lakukan kepada batu bara dan minyak sawit," kata Erick dalam pernyataan yang dikutip di Jakarta, Jumat.
Lebih lanjut ia menyampaikan keputusan pemerintah untuk melarang ekspor setrum merupakan kebijakan yang lumrah karena negara membutuhkan energi baru terbarukan. Apalagi pemerintah kini aktif mendorong pembangunan dan pengembangan industri hijau di dalam negeri.
"Ketika negara membutuhkan energi terbarukan diprioritaskan ke dalam negeri sebelum keluar negeri, itu mah sah-sah saja," ujar Erick.
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Pemerintah Indonesia dalam KTT ASEAN - Amerika Serikat menyampaikan akan melarang ekspor energi baru terbarukan ke negara lain dan aturan terkait hal itu akan segera dibuat untuk memperkuat landasan dari kebijakan tersebut.
Pemerintah mempersilahkan perusahaan-perusahaan asing untuk masuk ke Indonesia dan membangun proyek energi baru terbarukan, namun energi bersihnya tidak untuk disalurkan ke luar Indonesia.
Beberapa perusahaan pelat merah, seperti PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) telah menjalin kontrak kerja sama dengan perusahaan asing untuk memproduksi energi baru terbarukan dan mengekspornya. Meski demikian, Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Deendarlianto mengatakan larangan itu tidak akan berdampak terhadap penanaman modal asing mengingat kebutuhan Indonesia terhadap energi bersih masih sangat besar.
Deendarlianto menjelaskan apabila suplai energi baru terbarukan itu belum bisa mencukupi kebutuhan domestik, maka larangan ekspor tidak akan menjadi persoalan lantaran bauran setrum bersih masih 11,7 persen, sedangkan pemerintah harus mengejar target 23 persen pada tahun 2025.