"Memang lebih banyak di media sosial temuannya, salah satunya di NTB seorang siswa SD dalam tayangan youtube mengatakan kalau mati pasang bom, meledak terus tersenyum. Itu tanda mulai ada penyusupan," kata Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat BNPT Kolonel Czi Rahmad Suhendro saat ditemui di Denpasar, Bali, Kamis malam.
Ia mengatakan dari hasil temuan itu lebih dari 1.000 konten di media sosial sudah ditutup aksesnya. Namun, berselang 5-10 menit muncul lagi konten yang mirip dengan jumlah lebih banyak lagi.
Untuk itu, kata Kolonel Czi Rahmad terus mengikuti penyebaran dari akun-akun tersebut dan melakukan surveilans secara intens agar tetap mengetahui gerak-geriknya di media sosial, terutama berkaitan dengan radikalisme dan terorisme.
"Kami bersama Kominfo menemukan ada 1.000 akun di takedown, tapi dari 1.000 yang ditutup muncul lagi 5.000 dan lebih banyak. Jadi kami tetap surveilans dan mengikuti kelompok-kelompok ini," katanya.
Adanya kasus siswa SD tersebut menjadi pelajaran dan kedepannya patut untuk diwaspadai penyebarannya. Dijelaskannya, cara-cara pendekatan yang dipilih oknum penyebar tersebut, bisa dengan membujuk anak-anak sesuatu yang mereka inginkan, lalu diajari lewat gawai hingga mengubah cara berfikir.
Ia mengatakan salah satu yang menjadi indikator anak-anak terpapar paham radikal yaitu menutup diri dan tidak mau mendengar apa yang diingatkan lingkungan terdekatnya, termasuk keluarga, teman dan gurunya.
Menurutnya, kelompok radikal selalu mencari titik lemah, maka mereka melakukan pendekatan dengan iming-iming. Lalu, mulai mendengar dan disusupi, pemikirannya berubah dan pelan-pelan sudah tidak lagi mendengarkan peringatan orang lain.
"Termasuk HP pun disembunyikan, dan dia mencari jati diri dengan cara yang salah," katanya.
Dalam acara diskusi publik dan kegiatan musik anak bangsa yang berlangsung di Jalan PB Sudirman, Kota Denpasar, Bali, Kolonel Czi Rahmad menekankan pentingnya edukasi bagi generasi milenial dengan menggandeng Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT).