Jakarta (ANTARA) - Pejabat pemerintahan Ukraina mengatakan peretas masuk ke situs pemerintah lokal dan menyebarkan berita palsu.
Dinas Komunikasi Khusus dan Perlindungan Informasi Rusia melalui Twitter mengatakan sejumlah situs resmi "otoritas regional dan pemerintahan lokal" diretas dan digunakan untuk menyebarkan kebohongan soal perjanjian untuk mengakhiri perang.
Dikutip dari Reuters, berita palsu yang dimuat di situs tersebut berisi Kiev menyerah dan menandatangani perjanjian damai dengan Moskow.
Dinas menyatakan "musuh" bertanggung jawab atas peretasan ini. Mereka belum memberikan penjelasan soal peretasan ini, belum jelas juga situs apa yang dimaksud.
Baca juga: Menkominfo: pers sulit tegakkan jurnalisme berkualitas di tengah hoaks
Rusia membantah menggunakan peretas untuk menyerang musuh, tapi, dokumentasi menunjukkan Kremlin menggunakan mata-mata siber.
Pemerintah Ukraina dan peneliti mengaitkan peretasan yang pernah terjadi sebelumnya ke Belarusia.
Peretasan terhadap situs atau akun pemerintahan sudah pernah terjadi sebelumnya. Peneliti selama beberapa tahun belakangan melacak kelompok bernama "Ghostwriter", yang menerobos masuk situs berita untuk menyebarkan klaim palsu, demikian Reuters dikutip pada Jumat.
Bantah Diskriminasi
Pemerintah Ukraina membantah adanya perlakuan diskriminatif terhadap para pelajar asing yang sedang berupaya meninggalkan Ukraina di tengah serangan Rusia. Bantahan tersebut disampaikan Kementerian Luar Negeri Ukraina melalui pernyataan tertulis yang dikeluarkan Kedutaan Besar Ukraina di Jakarta pada Minggu malam (6/3).
"Diskriminasi dalam bentuk apa pun, baik diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tidak pernah ditoleransi di Ukraina, negara yang telah menjadi tujuan utama bagi mahasiswa asing dari segenap penjuru dunia selama beberapa dekade ini," kata Kemlu Ukraina.
Baca juga: TikTok blokir unggahan video dan streaming di Rusia
Pemerintah Ukraina menanggapi serius semua akun yang menuduh adanya tindakan diskriminasi, termasuk kepada warga negara asing yang ingin melintasi perbatasan negara. "Kami terus memprioritaskan untuk membantu warga negara asing keluar dari Ukraina dengan aman dan secepat mungkin," tulis pernyataan itu mengutip Kemlu Ukraina.
Selama seminggu terakhir, pemerintah Ukraina telah membantu lebih dari 130.000 orang asing untuk keluar dari Ukraina, termasuk 10.000 pelajar dari India, 2.500 dari China, 1.700 dari Turkmenistan, dan 200 dari Uzbekistan.
Pemerintah Ukraina juga mengimbau agar perwakilan diplomatik dari setiap negara lebih proaktif dalam bekerja sama dengan pemerintah Ukraina untuk mengevakuasi warga negara mereka dari zona konflik dan tetap menjaga komunikasi dengan Kemlu Ukraina.
"Angkatan bersenjata Rusia telah melanggar perjanjian gencatan senjata dengan terus menembaki kota-kota Ukraina. Sebagai dampak, kami tidak dapat mengevakuasi warga asing dari Ukraina dengan aman. Agresi militer Rusia juga menghancurkan pemukiman warga serta menyulitkan proses evakuasi bagi warga negara asing," kata Kemlu Ukraina.
Untuk itu, pemerintah Ukraina mendesak semua pemerintah negara asing untuk menuntut Presiden Rusia Vladimir Putin agar segera menghentikan serangan terhadap Ukraina. Namun, Kemlu Ukraina menyampaikan bahwa pemerintah Ukraina tetap membuka semua pos pemeriksaan di perbatasan barat selama 24 jam setiap harinya meskipun dalam kondisi yang sangat sulit. "Prosedur check-in telah disederhanakan sebisa mungkin dan daftar dokumen yang diperlukan juga telah dikurangi," kata kementerian itu.
Baca juga: PBB nyatakan 227 warga di Ukraina tewas dan 525 terluka
Pemerintah Ukraina juga mengimbau warga asing dari negara mana pun yang akan melintasi perbatasan untuk mematuhi hukum, menjaga ketertiban, dan bertindak dengan penuh tanggung jawab di tengah situasi yang menantang di Ukraina.
"Bagi yang akan melintas, diimbau untuk menyiapkan dokumen dan mengaturnya dengan sebaik mungkin. Selain itu, kami juga mengimbau setiap warga untuk saling menghormati dan pengertian kepada semua orang yang ada di perbatasan, mengingat situasi saat ini sangat berbahaya," kata Kemlu Ukraina.