Tabanan (ANTARA) - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan bahwa Kerajaan dan Kesultanan Nusantara, serta entitas masyarakat sipil lainnya perlu dilibatkan dalam menentukan arah perjalanan bangsa dan penataan negara ini.
"Kerajaan dan Kesultanan Nusantara berjasa besar dalam proses lahirnya bangsa dan negara ini. Sumbangsih dan dukungan mereka sangat konkret. Tetapi, sekarang mereka terpinggirkan dan justru partai politik yang datang belakangan dalam bangsa ini yang menguasai sistem tata negara kita," katanya saat berkunjung ke Puri Agung Tabanan, Bali, Sabtu.
Menurut LaNyalla, hal ini yang menjadi salah satu alasan bagi DPD RI bahwa wacana Amendemen Konstitusi ke-5 itu menjadi momentum penting untuk Indonesia yang lebih baik.
"Amendemen Konstitusi ke-5 salah satunya bertujuan agar non partisan mempunyai hak setara dengan partai politik. Selain itu juga agar 'civil society' yang ikut dalam proses pendirian bangsa ini diberikan tempat dan posisi yang tepat," jelasnya.
Baca juga: Ketua DPD RI kunjungi Museum Agung Pancasila di Denpasar
Sejak Amendemen Konstitusi 4 tahap yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002, wajah dan arah bangsa ini hanya ditentukan oleh partai politik, bahkan parpol menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa. Melalui Fraksi di DPR RI bersama Pemerintah, parpol memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga bangsa.
"Sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 naskah asli memberi ruang kepada utusan daerah dan utusan golongan dengan porsi yang sama dengan anggota DPR RI yang merupakan representasi partai politik," jelas Senator asal Jawa Timur itu.
Setelah amendemen, dilanjutkan LaNyalla, utusan golongan dihapus, utusan daerah diubah menjadi DPD RI, tetapi dengan kewenangan yang berbeda dengan Utusan Daerah. DPD RI sebagai wakil daerah hanya bisa mengusulkan Rancangan Undang-Undang dan membahas di fase pertama di Badan Legislasi, sedangkan pemutus untuk mengesahkan menjadi Undang-Undang adalah DPR bersama Pemerintah.
"DPD RI juga tidak bisa mengusulkan pasangan capres dan cawapres dari jalur non-partai politik. Padahal, publik melalui sejumlah survei menghendaki ada calon alternatif unsur non-partai politik," ungkapnya.
LaNyalla yakin resonansi yang terus disuarakan oleh DPD RI terkait posisi Kerajaan dan Kesultanan Nusantara, serta entitas 'civil society' lainnya akan terus menggema dan menggugah kesadaran publik, termasuk kesadaran Pemerintah dan bangsa Indonesia.
Baca juga: DPD minta pemerintah waspada dibukanya bandara internasional
"Karena hanya bangsa yang besar, yang mampu menghargai sejarah kelahirannya," katanya, didampingi sejumlah senator, diantaranya Bambang Santoso dan Anak Agung Gde Agung (Bali), Ahmad Bastian (Lampung), Fachrul Razi (Aceh), Andi Muh Ihsan (Sulsel), Erlinawati (Kalbar), Andi Nirwana (Sultra), Ahmad Kanedi (Bengkulu), Angelius Wake Kako (NTT).
Turut mendampingi Sekjen DPD RI Rahman Hadi, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifuddin, Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir, Ketua Harian MAKN Eddy S Whirabumi, Sekjen MAKN Raden Ayu Yani Wage Sulistyowati Koeswodidjoyo dan Ketua Pokja Kerajaan Nusantara Yurisman Star.
Senada dengan itu, PYM Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, Raja Denpasar IX, meminta Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, untuk mengoreksi sistem politik dan demokrasi Indonesia.
Saat menerima kunjungan Anggota DPD RI di Jaba Pura Pemerajan Puri Agung Denpasar, Sabtu (6/11/2021), Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, mengatakan sebagai entitas yang dekat dengan masyarakat adat, maka Kerajaan dan Keraton Nusantara menilai sistem demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia tak lagi sejalan dengan keinginan para pendiri bangsa.
"Sistem demokrasi yang dipraktikkan saat ini tak sejalan dengan arah perjuangan bangsa yang berlandaskan Pancasila. Demokrasi kita impor dari luar. Kami ingin kita berdemokrasi dengan falsafah Pancasila yang mengedepankan musyawarah, gotong-royong dan toleransi. Apakah sistem demokrasi bangsa kita bisa dikoreksi, sehingga kami yang menjaga muruah budaya ini bisa menghadang perpecahan," katanya.
Bahkan, implementasi di lapangan justru membuat masyarakat terkotak-kotak. "Untuk itu, kami meminta kepada Pak Ketua DPD RI agar sistem politik, termasuk pelaksanaan demokrasi ini dikoreksi dan diperbaiki agar masyarakat kita tidak terpecah belah," pinta Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan.
Selain itu, ia berharap agar RUU Masyarakat Hukum Adat bisa segera disahkan menjadi Undang-Undang. "Kami juga mengharapkan judulnya diganti menjadi UU Masyarakat Adat Kerajaan Nusantara. Itu pesan kami di samping Tujuh Titah Raja yang sudah disampaikan di Sumedang," katanya.