Jakarta (ANTARA) - Hasil survei Superintending Company of Indonesia (Sucofindo) menunjukkan terdapat peningkatan pada Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 0,75 persen.
Melalui acara "Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021" yang diselenggarakan secara hybrid (gabungan daring dan tatap muka), Rabu, perwakilan Tim Riset Kemerdekaan Pers Indonesia 2021 Ratih Siti Aminah mengatakan bahwa terjadi peningkatan IKP, yang semula sebesar 75,27 persen pada tahun 2020 menjadi 76,02 persen pada tahun 2021.
Survei yang dilakukan oleh Sucofindo juga menunjukkan hasil berdasarkan provinsi. Adapun lima provinsi dengan Indeks Kemerdekaan Pers tertinggi adalah Kepulauan Riau (83,30 persen), Jawa Barat (82,66 persen), Kalimantan Timur (82,27 persen), Sulawesi Tengah (81,78 persen), dan Kalimantan Selatan (81,64 persen).
“Ini masuk pada kategori cukup bebas,” kata Ratih.
Survei yang dilakukan oleh Sucofindo terkait Indeks Kemerdekaan Pers meliputi tiga variabel, yakni lingkungan fisik dan politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan hukum. Secara nasional, terdapat peningkatan dari masing-masing variabel penelitian.
Baca juga: Mahfud: kemerdekaan pers pascareformasi miliki landasan kuat
Pada tahun 2020, IKP pada lingkungan fisik dan politik sebesar 76,04 persen dan meningkat pada tahun 2021 menjadi 77,10 persen. Selanjutnya, terkait lingkungan ekonomi, pada tahun 2020 menempati angka sebesar 74,67 persen dan meningkat menjadi 74,89 persen di tahun 2021. Peningkatan juga terjadi pada variabel lingkungan hukum, yang pada tahun 2020 sebesar 74,57 persen menjadi 74,87 persen pada tahun 2021.
Hasil tersebut menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada lingkungan fisik dan politik, yakni sebesar 1,05 persen. Akan tetapi, masih diperlukan perjalanan yang cukup jauh agar IKP Indonesia dapat menempati kategori ‘bebas’. Indeks Kemerdekaan Pers harus menyentuh minimal angka 90 persen untuk dapat dikategorikan sebagai bebas.
“Masing-masing variabel ada indikatornya,” ujar Ratih.
Terdapat sembilan indikator untuk variabel lingkungan fisik dan politik, yaitu kebebasan berserikat bagi wartawan, kebebasan dari intervensi, kebebasan dari kekerasan, kebebasan media alternatif, keragaman pandangan, akurat dan berimbang, akses atas informasi publik, pendidikan insan pers, dan kesetaraan akses bagi kelompok rentan.
Selanjutnya, pada variabel lingkungan ekonomi, terdapat lima indikator, yakni kebebasan pendirian dan operasionalisasi perusahaan pers, independensi dari kelompok kepentingan yang kuat, keragaman kepemilikan, tata kelola perusahaan yang baik, dan lembaga penyiaran publik.
Ketiga, pada variabel lingkungan hukum, terdapat enam indikator, yakni independensi dan kepastian hukum lembaga peradilan, kebebasan mempraktikkan jurnalisme, kriminalisasi dan intimidasi pers, etika pers, mekanisme pemulihan, dan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas.
Baca juga: MPR: Pers beritakan COVID-19 yang benar berarti tegakkan Empat Pilar
Ratih mengatakan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemerdekaan pers secara nasional dan di masing-masing provinsi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode mix paralel konvergen dan teknik sampling dilakukan dengan purposive sampling. Sample dalam penelitian ini adalah Informan Ahli dengan kriteria yang ditentukan oleh Tim Dewan Pers.
Dirjen IKP
Sementara itu, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kemenkominfo) Usman Kansong mengatakan bahwa kebebasan pers di Indonesia lebih baik daripada di beberapa negara lain.
“Indonesia lebih baik apabila dibandingkan dengan negara lain,” kata Usman Kansong dalam acara Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Dewan Pers secara hybrid (gabungan daring dan tatap muka) itu.
Usman Kansong mengambil contoh Polandia serta India sebagai pembanding kebebasan pers dengan Indonesia.
Ia mengatakan, di negara-negara tersebut, berkuasanya salah satu partai politik dapat mengakibatkan kebebasan pers menjadi terhambat. “Saat ini, kebebasan pers di India bisa dikatakan tidak ada,” ujarnya pula.
Oleh sebab itu, Usman berpendapat bahwa kebebasan pers yang saat ini berlangsung di Indonesia harus dipertahankan dan ditingkatkan oleh seluruh elemen masyarakat. Apalagi, Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia masih menempati kategori cukup bebas.
Baca juga: Menkominfo ajak jurnalis tingkatkan tiga tanggung jawab pers
Dia berharap, ke depannya, Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia dapat meningkat hingga memasuki kategori bebas.
Dari sisi Pemerintah, Dirjen IKP ini menegaskan bahwa Pemerintah memiliki komitmen untuk menjaga kebebasan pers, dan bahkan berkomitmen untuk menjaga keberlangsungan media massa.
Kemenkominfo, kata Usman, telah menjalin komunikasi yang erat bersama Dewan Pers terkait keberlangsungan media massa dan juga kemerdekaan pers di Indonesia. “Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika akan menjaga kebebasan pers dan kemerdekaan pers seperti saat ini dan harus terus ditingkatkan,” kata mantan wartawan Media Indonesia ini menegaskan.
Pada sisi lain, ia juga mengingatkan perihal fenomena penggunaan click bait pada judul berita dari beberapa media. Usman berharap, seluruh media dapat lebih memerhatikan penggunaan judul yang bernuansa click bait. Bahkan, apabila memungkinkan, untuk dikurangi penggunaannya.
“Masih banyak penggunaan click bait dalam judul-judul pemberitaan terutama di media online. Ini harus menjadi perhatian Dewan Pers, agar kita bisa mengurangi hal-hal seperti itu,” kata Usman Kansong.
Kriminalisasi pers
Dalam acara yang sama, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ahmad Djauhar mengingatkan kriminalisasi pers mengindikasikan bahwa pers nasional belum sepenuhnya bebas.
“Padahal amanat Undang-Undang Pers, untuk produk pemberitaan, harus diselesaikan di Dewan Pers, bukan di pengadilan umum,” kata Ahmad Djauhar dalam acara Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Dewan Pers secara hybrid (gabungan daring dan tatap muka) itu.
Menurut dia, masih ada sejumlah kalangan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat mengadukan produk pers, atau produk pemberitaan, kepada polisi dengan berbagai alasan. Hal ini yang kemudian menyebabkan dilakukannya penegakan hukum yang tidak menggunakan Undang-Undang Pers dalam menangani kasus pers.
Baca juga: Kemenko Polhukam: Delik pers selesaikan di Dewan Pers
Ahmad Djauhar mengatakan, kasus yang melibatkan karya jurnalistik menunjukkan kesalahan etik, tidak seharusnya diperlakukan seperti tindak kriminal, sehingga tidak tepat apabila dilaporkan kepada polisi.
Fenomena tersebut, kata Ahmad, menimbulkan kesan bahwa karya jurnalistik yang merupakan karya intelektual ditangani dengan pendekatan hukum pidana, sehingga terjadi kriminalisasi pers.
“Hal ini mencerminkan bahwa kriminalisasi pers masih ada walaupun Undang-Undang Pers telah berumur 22 tahun,” ujarnya pula.
Bukan hanya kriminalisasi, katanya lagi, insan pers yang terdiri dari wartawan serta awak media juga rentan mengalami tindak kekerasan selama proses penciptaan maupun setelah publikasi produk pers. Kekerasan tersebut dapat terjadi apabila isinya dipandang merugikan pihak yang diberitakan.
Tindak kekerasan yang mengancam insan pers, menurut dia, juga merupakan hambatan kemerdekaan pers.
Namun, pada sisi lain, kesadaran pada mekanisme hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers sudah tinggi. Ahmad mengatakan, berdasarkan pada catatan pengaduan Dewan Pers, terdapat 800-an surat aduan dari masyarakat sepanjang tahun 2020.
Oleh karena itu, meski Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 mengalami peningkatan dari 75,27 pada tahun 2020 menjadi 76,02, Ahmad Djauhar menekankan bahwa pers masih belum sepenuhnya bebas.